JAKARTA, Bojonegoro.iNews.id – Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyoroti fakta mengejutkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat sebanyak 1,01 juta lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih menganggur. Ia menyebut kondisi ini sebagai ironi besar di tengah momentum bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia mencapai kemajuan.
“Lebih dari satu juta sarjana menganggur? Ini bukan sekadar angka statistik. Ini kegagalan sistemik di tengah cita-cita Indonesia Emas 2045,” tegas Nurhadi dalam pernyataan tertulis, Sabtu (5/7/2025).
Menurutnya, besarnya investasi pemerintah di sektor pendidikan tinggi belum dibarengi hasil yang memadai. Pemerintah diketahui telah mengalokasikan Rp4,7 triliun untuk peningkatan sarana dan prasarana di perguruan tinggi negeri (PTN) serta Rp76,4 triliun dari APBN 2025 untuk sektor pendidikan secara keseluruhan. Namun, anggaran besar itu belum mampu menciptakan tenaga kerja yang terserap secara optimal.
“Kita menghadapi situasi absurd. Dana triliunan digelontorkan, tapi hasilnya justru jadi pengangguran terdidik,” tambahnya.
Nurhadi mengkritik sistem ketenagakerjaan yang menurutnya belum menghargai kompetensi akademik lulusan sarjana. Ia menilai penyamarataan upah antara lulusan S1 dan lulusan SMA sebagai bentuk pelecehan terhadap martabat intelektual.
“Bukan soal gengsi. Banyak sarjana menolak kerja bukan karena malas, tapi karena sistem kerja kita tak menghargai kemampuan mereka,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, serta minimnya fasilitas pendukung di daerah, yang membuat lulusan muda enggan bekerja di wilayah terpencil. Dalam pandangannya, pemerintah tidak bisa hanya mendorong pemuda kembali ke desa tanpa memastikan infrastruktur dasar seperti internet, transportasi, dan layanan kesehatan terpenuhi.
Nurhadi menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada kuantitas tenaga kerja terserap, tetapi juga kualitas dan kesesuaian dengan bidang keahlian. Ia memperingatkan bahwa kegagalan menanggulangi pengangguran sarjana bisa menjadi bom waktu sosial.
“Ini bukan semata persoalan ekonomi, tapi potensi krisis sosial. Negara harus hadir, jangan jadi penonton atas sistem yang menindas generasi muda,” tegasnya.
Editor : Arika Hutama
Artikel Terkait