Krisis Iklim Kian Nyata, Bojonegoro Didorong Jadi Contoh Daerah Ramah Energi
BOJONEGORO, iNewsBojonegoro.id – Menghadapi tantangan krisis iklim global dan sebagai tindak lanjut dari Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil, Bojonegoro Institute (BI) menggelar Forum Kajian Pembangunan Daerah (FKPD) bertema “Mengapa Harus Beralih ke Energi Bersih yang Berkeadilan?”.
Kegiatan tersebut berlangsung di Gedung Pertemuan EJSC Bakorwil Bojonegoro, Selasa (11/11/2025).
Acara yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 13.00 WIB ini dihadiri berbagai kalangan, mulai dari aktivis lingkungan, akademisi, jurnalis, hingga perwakilan NGO lokal.
Dua narasumber nasional turut hadir, yakni Naomi Devi Larasati, ahli kebijakan Transisi Energi dari Yayasan Indonesia Cerah, serta Jeany Hartrianti, Deputy Head of Katadata Green.
Kegiatan yang didukung Ford Foundation ini bertujuan mendorong akuntabilitas pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas agar dapat dialihkan sebagian untuk mendukung transisi energi bersih dan berkeadilan di tingkat daerah.
Bojonegoro, Daerah Kaya Migas dengan Tanggung Jawab Besar
Sebagai daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia dengan kontribusi sekitar 25 persen dari produksi nasional, Bojonegoro memiliki posisi strategis dalam pengurangan emisi karbon nasional.
Sekitar 50–60 persen pendapatan daerah bersumber dari DBH Migas, yang dapat diarahkan untuk pembangunan berwawasan lingkungan dan energi terbarukan.
“Transisi energi bukan hanya soal teknologi, tapi juga keadilan sosial dan ekologis,” tegas Direktur Bojonegoro Institute, AW. Syaiful Huda.
“Bojonegoro punya tanggung jawab moral untuk berkontribusi pada pengurangan emisi dan penguatan energi terbarukan yang berpihak pada masyarakat. Transisi energi harus dimulai dari daerah,” tambahnya.
Kolaborasi Jadi Kunci Sukses Transisi Energi
Dalam paparannya, Jeany Hartrianti menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat transisi energi bersih.
“Krisis iklim adalah isu kehidupan sehari-hari. Karena itu, komunikasi dan kampanye yang efektif di tingkat lokal sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Naomi Devi Larasati menyoroti bahwa isu transisi energi sering kali dianggap elitis, padahal dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Sebagai daerah penghasil migas, Bojonegoro punya peluang besar menjadi contoh wilayah yang sadar pentingnya transisi energi. Prinsipnya: No One Left Behind — tidak boleh ada yang tertinggal,” ungkap Naomi.
Hasilkan Rekomendasi dan Aksi Kolaboratif
Forum yang berlangsung secara partisipatif ini menghasilkan sejumlah rekomendasi dan ide kolaborasi lintas sektor.
Para peserta yang terdiri dari unsur masyarakat sipil, akademisi, dan pemerintah daerah sepakat memperkuat upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim, sekaligus mendorong model transisi energi bersih di tingkat desa.
Beberapa isu prioritas yang disepakati untuk dikawal bersama meliputi:
• Transisi energi bersih dan berkeadilan,
• Pertanian dan kedaulatan pangan,
• Pengelolaan hutan berkelanjutan, serta
• Pendanaan lingkungan melalui mekanisme dana abadi.
“Kami berharap forum ini menjadi awal dari jejaring kolaborasi antara masyarakat, kampus, dan pemerintah untuk mempercepat transisi energi yang inklusif dan adil,” tutup AW. Syaiful Huda.
Editor : Arika Hutama