SURABAYA, Bojonegoro.iNews.id - Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan besar yang menguasai perdagangan dunia. Konon, sejumlah wilayah di dalam dan luar negeri berhasil ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya pada abad 7.
Hal ini menguatkan posisi Sriwijaya sebagai kerajaan yang diperhitungkan di Nusantara dan di mata Internasional. Apalagi, secara letak, Pulau Sumatera memiliki lokasi cukup strategis bagi kegiatan perdagangan Internasional.
Hal ini memungkinkan karena Pulau Sumatera digunakan pelayaran sejak masa prasejarah, terutama dalam rangka perdagangan rempah-rempah.
Kebesaran Kerajaan Sriwijaya dikisahkan pada Buku "Airlangga : Biografi Raja Pembaru Jawa Abadi XI" dari Ninie Susanti, pada kenyataannya Sriwijaya muncul sebagai pelabuhan transit dagang yang penting bagi jalur dagang melalui laut karena banyak disinggahi oleh pedagang dari berbagai bangsa di dunia.
Sriwijaya merupakan kekuatan pertama dalam sejarah Indonesia yang berhasil mendominasi wilayah Selat Malaka yang memegang kunci perdagangan dan pelayaran baik ke negeri China, maupun ke negeri-negeri lainnya. Sriwijaya pun memulai ekspansi ke utara yang bukan hanya dimaksudkan untuk mengendalikan lalu lintas bahari yang keluar masuk selat, melainkan ditujukan pula untuk menguasai penyeberangan darat melalui tanah genting Kra.
Di samping itu, ekspedisi ke selatan juga disiapkan Kerajaan Sriwijaya, hal ini untuk menaklukkan bumi Jawa biasanya ditafsirkan sebagai usaha ekspansi ke Jawa Barat. Suatu rencana untuk memasukkan pantai sebelah Selat Sunda dalam kekuasaan Sriwijaya.
Keterangan ini menjawab mengapa Sriwijaya melakukan ekspansi pada awal perkembangannya dan mengeluarkan prasasti - prasasti yang berisi kutukan.
Guna meluaskan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan diplomatik dengan mengirimkan utusan ke China. Pada waktu itu Raja Sri Cudamaniwarmadewa mengirimkan utusan ke China pada 1003 dan 1008. Sementara utusan kedua dikirimkan Sriwijaya saat masa pemerintahan Raja Sri Marawijayotungawarman.
Raja-raja Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan dengan Chola dan China yang pada saat itu merupakan dua kekuatan besar di kawasan Asia Tenggara. Persahabatan tersebut diartikan sebagai antisipasi ancaman dari Jawa.
Pada catatan Dinasti Sung, Sriwijaya diperkirakan menghadapi lawannya dari Pulau Jawa, yang tak lain adalah Mataram Kuno, yang saat itu diperintah oleh Raja Dharmmawangsa Tguh.
Hubungan diplomatik itu terus berlanjut terjadi pada 1016, 1017, dan 1018, dimana utusan Sriwijaya dikirimkan ke China. Untuk kepentingan diplomatik, Sriwijaya tak keberatan membayar upeti kepada China dan mengakui sebagai negara yang berkuasa. Ini adalah bagian dari usaha diplomatik untuk menjamin agar China tidak membuka perdagangan langsung dengan negara lain di Asia Tenggara yang dapat merugikan Sriwijaya.
Sedangkan persahabatan dengan Chola diwujudkan dengan bantuan pendirian bangunan suci agama Buddha di Nagipattana oleh Raja Chola bernama Raja Kesariwarman Rajaraja I pada 1005-1006 Masehi.
Bangunan ini selanjutnya diberi nama Cudamanivarmavihara. Chola ini berlokasi di India selatan, yang merupakan salah satu kerajaan besar dalam tradisi Tamil. Kerajaan Chola mencapai masa kejayaannya pada masa pemerintahan Rajaraja I tahun 985-1014 Masehi.
Editor : Prayudianto