BOJONEGORO, iNewsBojonegoro.id - Inovasi Program Bojonegoro Klunting yang digagas oleh pasangan calon nomor urut 1, Teguh Haryono dan Farida Hidayati, telah mendapatkan apresiasi positif dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat dan para pakar di bidangnya.
Program ini pun dibedah pada Diskusi Publik Menyambut Universal Basic Income atau Hak Dasar Pendapatan Warga bersama para pakar yang berkompeten di bidangnya.
Salah satu nara sumber adalah Bambang Harymurti seorang pakar komunikasi sekaligus wartawan senior. Bambang mengatakan bahwa APBD Bojonegoro mencapai Rp8 triliun lebih. Namun, hingga September, serapannya baru mencapai 36%. Artinya, masih banyak dana yang tersedia.
"Jika masyarakat Bojonegoro mendukung program Klunting (Universal Basic Income), diskusi akan menjadi jauh lebih menarik. Kita perlu menggalang kampanye agar mereka setuju," ujarnya.
Model Bojonegoro melalui Klunting ini terinspirasi dari model yang diterapkan di negara bagian Alaska, di mana setiap tahun semua penduduknya menerima dividen dari hasil migas. Menariknya, Alaska dikenal sebagai salah satu negara bagian paling kapitalis di Amerika. Hal ini membantah anggapan bahwa Universal Basic Income (UBI) identik dengan paham sosialis.
"Saya sendiri pernah menghadapi reaksi serupa ketika mengusulkan ide UBI kepada Pak Sofyan Jalil, mantan Menko Ekonomi. Saat itu, beliau langsung merespons, "Wah, ini sosialis sekali," dan menambahkan, "Nanti orang-orang malah jadi malas."
Dia melsnjutkan, Reaksi seperti ini cukup umum namun jika menelusuri sejarahnya, konsep UBI justru berasal dari kalangan yang berorientasi pada ekonomi pasar bebas, seperti Chicago School of Economics. Saat itu, konsepnya dikenal dengan istilah Negative Tax System (sistem pajak negatif).
"Yang lebih menarik, pada masa Presiden Reagan, Amerika hampir menjadi negara pertama yang menerapkan UBI. Dalam proses legislasi yang melibatkan House of Representatives (setara DPR) dan Senat, kedua partai besar—Demokrat yang cenderung sosialis dan Republik yang lebih kapitalis—sebenarnya menyetujui gagasan tersebut. Sayangnya, rencana itu kandas karena perbedaan pendapat mengenai jumlah besaran bantuan. Demokrat menganggap usulan Republik terlalu rendah, sedangkan Republik merasa angka yang diusulkan Demokrat terlalu tinggi," bebernya.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar