Nurhadi mengkritik sistem ketenagakerjaan yang menurutnya belum menghargai kompetensi akademik lulusan sarjana. Ia menilai penyamarataan upah antara lulusan S1 dan lulusan SMA sebagai bentuk pelecehan terhadap martabat intelektual.
“Bukan soal gengsi. Banyak sarjana menolak kerja bukan karena malas, tapi karena sistem kerja kita tak menghargai kemampuan mereka,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, serta minimnya fasilitas pendukung di daerah, yang membuat lulusan muda enggan bekerja di wilayah terpencil. Dalam pandangannya, pemerintah tidak bisa hanya mendorong pemuda kembali ke desa tanpa memastikan infrastruktur dasar seperti internet, transportasi, dan layanan kesehatan terpenuhi.
Nurhadi menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada kuantitas tenaga kerja terserap, tetapi juga kualitas dan kesesuaian dengan bidang keahlian. Ia memperingatkan bahwa kegagalan menanggulangi pengangguran sarjana bisa menjadi bom waktu sosial.
“Ini bukan semata persoalan ekonomi, tapi potensi krisis sosial. Negara harus hadir, jangan jadi penonton atas sistem yang menindas generasi muda,” tegasnya.
Editor : Arika Hutama
Artikel Terkait