JAKARTA, iNewsBojonegoro.id - Kekerasan seksual merupakan masalah serius yang dapat terjadi pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Bahkan dalam lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, masyarakat masih belum aman dari bahaya kekerasan seksual.
Di Indonesia, kekerasan seksual telah menjadi kasus yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan. Menurut data catatan dari Komnas Perempuan selama periode 2017-2021, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menjelaskan angka kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Menurutnya berbagai upaya secara regulatif sudah bergerak ke arah upaya pencegahan kekerasan seksual.
“Tantangan utamanya ada pada mental model, bahwa seprogresif apa pun regulasi menjadi sulit dilaksanakan jika orang-orang yang mengimplementasikan di lapangan masih memahami kekerasan seksual sebagai hal yang biasa,” ucapnya dalam forum Gender Studies Forum (GSF) yang mengangkat tema “Menginvestigasi Kekerasan Seksual di Pendidikan Tinggi di Indonesia: Interseksi dan Interjeksi” dikutip Sabtu (13/8/2022).
Sementara itu, Ketua Komnas Disabilitas Dante Rigmalia menjelaskan salah satu tantangan utama dalam kekerasan seksual terletak pada sikap masyarakat dan aparat penegak hukum yang cenderung mengabaikan. Akibat kurangnya pengetahuan aparat, sistem peradilan pidana di Indonesia menjadi tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban.
Trauma dan rasa malu yang dialami penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual seringkali diabaikan. Pada akhirnya, korban dan keluarga merasa pesimistis kasus tersebut bisa diselesaikan.
Sri Wiyanti Eddyono dari UGM bicara mengenai distorsi termal keadilan restoratif. Penyelesaian konflik hukum, terutama kekerasan seksual harus dilakukan dengan menggelar mediasi antara korban dan terdakwa. Menurutnya, tujuan keadilan restoratif dalam UU TPKS dan Permendikbud memiliki prinsip melindungi dan memulihkan korban.
Forum GSF membahas berbagai isu krusial terkait kekerasan seksual, seperti komitmen negara dalam implementasi regulasi kekerasan seksual, peluang satuan tugas dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, menyoal kembali perlindungan terhadap kelompok disabilitas dan kelompok marjinal lain serta akar-akar kekerasan dalam dimensi sosiokultural.
Kegiatan ini diikuti oleh tidak kurang dari 200 peserta baik offline maupun online untuk berbagi pengalaman. Narasumber dihadirkan mulai dari Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi dari 58 kampus di Indonesia.
Gender Studies Forum dibuka oleh Chatarina Muliana Girsang, Inspektur Jenderal Kemdikbud. Dalam sambutannya, Chatarina menyambut baik kolaborasi ini. Sebab pihak kementerian yang bertanggung jawab atas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, kerja-kerja kolaboratif mutlak harus dilakukan.
“Kerja kolaboratif ini harus melibatkan berbagai elemen, mulai dari perguruan tinggi, organisasi masyarakat, hingga komunitas. Kementerian menyambut baik GSF sebagai bagian dari upaya duduk bersama untuk mencari jalan terbaik menyelesaikan persoalan kekerasan seksual,” tuturnya.
Editor : Prayudianto