Amburadulnya Penegakan Hukum Rokok Ilegal: Bukti Lemahnya Pengawasan

Arika Hutama
Ilustrasi peredaran rokok ilegal di Indonesia. Foto: Gemini AI

Pencarian informasi tak berhenti pada Rustam dan Sulaisi. Kami akhirnya mendapat cerita dari Carlos—bukan nama sebenarnya—seorang kurir rokok ilegal berusia 27 tahun. Carlos bersedia berbagi pengalamannya melalui sambungan telepon.

Carlos mengaku awalnya tak pernah terpikir menjadi kurir rokok ilegal. “Awalnya kerja di travel, pasti kan travel banyak kenalan di pelosok-pelosok. Ada orang mau ngirim paket katanya...paket rokok,” ujarnya melalui sambungan telepon. Dari sanalah ia mulai ditawari pekerjaan mengantarkan rokok tanpa cukai.

Carlos mendapat upah yang dihitung per bal dengan nominal Rp 100-Rp 110 ribu, kala itu. Satu bal berisi 20 pres, untuk bal berukuran kecil berisi 10 pres. Untuk membawa rokok-rokok itu ke luar Madura, ia memodifikasi mobil Wuling Confero dengan melepas kursi tengah dan belakang agar bisa memuat maksimal 115 bal sekali jalan. Dalam sekali angkut, minimal ia membawa 100 atau 80 bal rokok ilegal.

Carlos pertama kali menjalani pekerjaan itu pada 2022 dan hanya melayani satu pemasok yang rutin mengirim ke Jakarta. “Saya memprioritaskan ke satu orang saja. Tapi syaratnya mobil harus penuh,” katanya.

Ditangkap APH, dan tebusan puluhan juta

Dia pun menceritakan momen ketika tertangkap. Dia tidak begitu mengingat persis kapan kejadian itu terjadi. Dia merasa penangkapan terjadi sekitar 2022 atau 2023. Malam itu, sekitar pukul tiga dini hari, ia berangkat dari Madura menuju Surabaya.

Waktu subuh dipilih karena dianggap paling aman melewati jembatan Suramadu. Mengendarai mobil pribadi Wuling Confero yang telah dimodifikasi agar muat penuh bal rokok, Carlos masuk jalan tol Tambak Sumur, tak jauh dari Bandara Juanda.

Ia sempat berhenti sebentar untuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dua mobil—satu unit mobil berukuran 4x4 Nissan Navara dan Innova Reborn—mendekat, membuntuti, lalu memepetnya.

Dari dua mobil itu, muncul beberapa petugas Bea Cukai. Kepada Carlos, mereka mengaku sudah mendapat informasi dari Madura kalau mobil yang dikendarainya membawa rokok ilegal. Carlos dan satu orang temannya pasrah, mereka memilih tidak melawan dan menuruti perintah sang petugas.

Carlos bersama dengan temannya yang merupakan supir pengganti dibawa ke Kantor Bea Cukai. Di sana, seluruh barang pribadi disita, mulai dari ponsel, dompet, surat kendaraan, dan mobil beserta muatan rokoknya. Mereka ditahan sehari semalam karena menunggu konfirmasi dari pemilik barang.

Setelah diproses, petugas mengambil foto Carlos di kantor Bea Cukai dan diberi surat penangkapan sebelum dipulangkan ke Madura, namun mobil dan rokok masih disita. Menurut dia, pemilik barang kemudian diminta menebus mobil dengan uang Rp 30 juta dari permintaan awal lebih dari Rp 100 juta.

Meskipun sudah ditembus, rokok-rokok ilegal itu tetap disita. Hanya mobil yang berhasil dibawa. Ia berkata bahwa para pengusaha kecil seperti bosnya jarang lolos ketika barang mereka tertangkap. Berbeda dengan pengusaha besar yang bermain dengan skala kontainer dan biasanya memiliki “uang keamanan” serta pengawalan.

Menurut Carlos, produksi rokok ilegal terbesar di Madura terkonsentrasi di dua kabupaten, Pamekasan dan Sumenep. Keduanya bersaing ketat, dikuasai pengusaha besar yang sama-sama punya perusahaan rokok legal tapi menggantungkan keuntungan dari rokok tanpa pita cukai. Pengusaha besar yang dimaksud, yakni HKU—Pamekasan dan seorang tokoh haji di Sumenep.

Ia menyebut beberapa merek milik kedua pengusaha tersebut meski tak semuanya diingat. Di antaranya, A,G,GB, Fl, P, R, dan Fa. Beberapa merek bahkan dipalsukan oleh pengusaha menengah demi menunggangi popularitas produk asli. Pernyataan Carlos ini pun menguatkan pernyataan Rustam dan Sulaisi.

Selain Carlos, ada Martin—bukan nama sebenarnya—asal Pamekasan, 28 tahun, menjadi kurir rokok ilegal sejak 2022. Dalam wawancara melalui pesan suara di aplikasi WhatsApp kepada wartawan Tempo, Mutia, pada Kamis, 25 September 2025, Martin menceritakan awal mula dirinya terjerat dalam bisnis pengiriman rokok tanpa cukai ini.

“Pertama kali itu diajak teman buat ngirim barang,” kata Martin. Saat itu, ia tak mengetahui secara jelas barang apa yang diangkutnya. Belakangan, ia baru menyadari bahwa muatan tersebut adalah rokok tanpa cukai, atau biasa disebut “rokok bodong”.

Martin mengaku tergiur oleh imbalan yang diberikan. Dalam setiap perjalanan, ia membawa sekitar 90 bal rokok, masing-masing berisi 20 press atau slot. Dari hasil pengiriman itu, ia menerima bayaran Rp 1,5 juta, ditambah uang operasional sebesar Rp 4 juta. Sistem kerja Martin cukup sederhana. Ia tidak pernah mengurus pengemasan atau negosiasi. Semua sudah disiapkan oleh pihak pemilik usaha.

Pengiriman dilakukan tanpa jadwal tetap. Kadang pagi, kadang malam. Tujuannya jelas, menghindari razia dari pihak kepolisian maupun Bea Cukai. Pada 2023, Martin tertangkap oleh Patroli Jalan Raya (PJR) Polda Jatim VIII Suramadu saat mengirimkan rokok tanpa cukai dari Pamekasan menuju Surabaya. Insiden itu terjadi di Jalan Raya Tangkel, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan. Saat itu, Martin menepi untuk makan sebelum melanjutkan perjalanan.

Namun, belum lama meninggalkan lokasi makan, empat polisi PJR yang berada di belakangnya memberi isyarat untuk berhenti.

Polisi kemudian meminta surat-surat kendaraan dan dokumen muatan. Karena tidak bisa menunjukkan legalitas barang yang dibawa, Martin langsung dibawa ke kantor PJR Bangkalan bersama mobil Avanza milik bosnya yang memuat 95 bal rokok ilegal. Martin mengaku diperiksa di kantor PJR sejak sore sekitar pukul 16.00, waktu setempat. Dia tidak mengalami kekerasan fisik saat menjalani pemeriksaan.

Namun ada yang menarik, Martin mengaku hanya ditahan beberapa jam. Pada malam hari, ia dibebaskan setelah pemilik rokok ilegal membayar uang tebusan sebesar Rp 55 juta. Rokok ilegal yang dibawa Martin berasal dari Pamekasan, salah satu wilayah di Madura yang dikenal sebagai pusat produksi rokok tanpa cukai. Modusnya serupa, diproduksi di skala rumahan, dikirim melalui jalur darat ke Surabaya, lalu disebarkan ke berbagai daerah.

Pengalaman Carlos dan Martin memperlihatkan hal itu dengan jelas bahwa mereka hanya kurir, namun menanggung risiko di lapangan. Sementara pemilik barang justru bisa “menebus” kebebasannya dengan uang.

Kasus Carlos dan Martin menggambarkan bagaimana peredaran rokok ilegal berjalan nyaris tanpa hambatan di Madura. Iming-iming upah besar membuat banyak warga rela mengambil risiko hukum, sementara dugaan penyelesaian non-prosedural di tingkat penegakan hukum memperparah masalah. Bisnis rokok ilegal ini bukan hanya persoalan ekonomi tapi soal tata kelola hukum.

Upaya konfirmasi terhadap sejumlah nama yang disebut-sebut terlibat dalam praktik culas bisnis rokok ilegal terus dilakukan. Di antaranya, mantan Kepala Satuan Intelkam Polres Sampang, Joko Setyono, yang namanya disebut oleh Sulaisi, menegaskan tidak pernah terlibat dalam peredaran rokok bodong.

“Selama ini saya tidak pernah menangani rokok ilegal,” ujar Joko saat dihubungi melalui sambungan telepon oleh jurnalis iNews Bojonegoro, Arika Hutama, pada Rabu, 24 September 2025. Ia menekankan bahwa ranah intelijen kepolisian tidak memiliki keterkaitan langsung dengan aktivitas perdagangan rokok ilegal.

Joko juga membantah kabar adanya pertemuan di salah satu hotel di Pamekasan yang disebut melibatkan dirinya. Ia mengaku, memang mengenal baik Sulaisi. Sedangkan Kapolres Sampang kala itu, hingga tulisan ini tayang, tak kunjung merespons upaya konfirmasi.

Komitmen Bea Cukai brantas rokok ilegal

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Djaka Budhi Utama, menegaskan komitmen lembaganya dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal, termasuk di wilayah Madura. Ia menyebut, data penindakan menunjukkan tren peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.

Di wilayah kerja Bea Cukai Madura, jumlah barang hasil penindakan pada 2023 meningkat lebih dari 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Komitmen tersebut juga tercermin dari peningkatan nilai sanksi administrasi di bidang cukai, yakni sebesar Rp 2,8 miliar pada 2024 dan Rp 4,5 miliar pada 2025.

Sementara penyelesaian perkara melalui mekanisme ultimum remedium (UR) turut meningkat, dari Rp 2,6 miliar pada 2023 menjadi Rp 8,3 miliar pada 2024, dan mencapai Rp 9,2 miliar hingga Oktober 2025.

Djaka menjelaskan, jumlah perkara yang naik ke tahap penyidikan pun mengalami lonjakan, dari tiga kasus pada 2023 menjadi delapan belas kasus pada 2025. “Data tersebut menunjukkan bahwa Bea Cukai tidak pernah menutup mata terhadap aktivitas produksi maupun peredaran rokok ilegal, termasuk di Madura,” kata Djaka kepada Tempo, Selasa, 14 Oktober 2025.

Ia menuturkan, penindakan dilakukan secara menyeluruh—mulai dari tingkat produsen, perlintasan domestik, hingga pemasaran di pasar tradisional maupun online market. Djaka juga menegaskan bahwa penyelesaian pelanggaran di bidang cukai tidak selalu berakhir dengan sanksi pidana.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Bea Cukai memiliki kewenangan menyelesaikan perkara melalui mekanisme ultimum remedium, yaitu dengan sanksi administratif berupa denda.

Menurut Djaka, mekanisme tersebut sejalan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang mengedepankan kemanfaatan hukum. Pemidanaan tetap dilakukan apabila pelaku tidak melaksanakan kewajiban pembayaran denda administratif.

Sayangnya, konsep ini sering disalahpahami sebagai uang tebusan, padahal merupakan bagian dari sistem penegakan hukum yang berorientasi pada kepatuhan dan efek jera. Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 63 Undang-Undang Cukai, Bea Cukai memiliki kewenangan melakukan penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, hingga penyidikan terhadap dugaan pelanggaran di bidang cukai.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Budi Prasetiyo, menjelaskan mekanisme perhitungan sanksi administratif berupa denda dalam penerapan asas ultimum remedium (UR). Menurutnya, dasar perhitungan denda ditentukan dari jumlah Barang Kena Cukai (BKC) yang telah dilakukan penindakan oleh DJBC.

“Jumlah BKC ini tercantum dalam dokumen Surat Bukti Penindakan (SBP). Jadi, BKC yang sudah dilakukan penindakan tidak dapat berubah,” kata Budi saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Jumat, 31 Oktober 2025.

Ia menjelaskan bahwa perhitungan besaran sanksi administratif dilakukan oleh pihak yang berwenang di setiap tahapan UR. Dalam tahap penyidikan, denda dihitung oleh ahli cukai sebesar empat kali nilai cukai. Sementara dalam tahap penelitian, perhitungannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebesar tiga kali nilai cukai.

Budi mengungkapkan bahwa ada dua jenis ultimum remedium yang diterapkan, yaitu tahap penelitian dan tahap penyidikan. Pada tahap penelitian, seluruh proses penyelesaian berada di lingkungan DJBC. Sedangkan pada tahap penyidikan, permohonan awal diajukan ke DJBC, namun keputusan penyelesaiannya berada di Kejaksaan Agung.

Penindakan dan Pemusnahan Jutaan batang rokok illegal Bea Cukai

Untuk tindak pidana cukai, penyidikannya dilakukan oleh PPNS DJBC. Prinsip yang digunakan adalah lex specialis derogat lex generalis, sehingga yang berwenang mengenakan sanksi ultimum remedium hanya Bea Cukai.

Teranyar, Kantor Bea Cukai Blitar, Jawa Timur, memusnahkan lebih dari 1,29 juta batang rokok ilegal senilai Rp 1,78 miliar, pada Kamis, 23 Oktober 2025, di halaman Kantor Bea Cukai Blitar. “Total kami memusnahkan 1.296.000 batang rokok tanpa pita cukai jenis sigaret kretek mesin (SKM), nilainya diperkirakan mencapai Rp 1.788.480.000,” kata Kepala Bea Cukai Blitar Nurtjahjo Budidananto dalam keterangan resmi, Jumat, 31 Oktober 2025.

Bea Cukai Blitar telah melakukan 179 kali penindakan dengan hasil sitaan 3.403.556 batang rokok ilegal dan 2.486,26 liter MMEA ilegal senilai Rp 3,43 miliar sepanjang 2024. Hingga September 2025, telah dilakukan 135 kali penindakan dengan barang bukti 1.949.960 batang rokok ilegal dan 608 liter MMEA ilegal, dengan nilai total Rp 2,98 miliar dan potensi kerugian negara yang berhasil diselamatkan mencapai Rp 2,02 miliar.

Berikutnya, perkara tindak pidana di bidang cukai di Banyuwangi, Jawa Timur, resmi naik ke tahap P-21 atau dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Kasus ini bermula dari laporan polisi Nomor LP/A/3/IX/2025 yang diterbitkan Polsek Rogojampi pada 2 September 2025.

Dalam laporan itu, seorang pria berinisial AT (38) tertangkap tangan menjual dan memiliki rokok tanpa pita cukai di Dusun Bades, Kelurahan Karang Bendo, Kecamatan Rogojampi. Berdasarkan hasil pemeriksaan, AT diketahui pernah tersangkut kasus serupa pada 2020.

“Ia mengaku mendapatkan pasokan rokok ilegal dari seseorang berinisial J, warga Madura, yang kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO),” kata Kepala Kantor Bea Cukai Banyuwangi, Latif Helmi, dalam keterangan resmi.

Dari penindakan tersebut, petugas menyita 118.400 batang rokok ilegal dengan nilai barang sekitar Rp 178 juta dan potensi kerugian negara mencapai Rp 89,6 juta. AT dijerat Pasal 54 dan/atau Pasal 56 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

Ancaman hukumannya berupa pidana penjara satu hingga lima tahun dan/atau denda dua hingga sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Akademisi: Peredaran rokok illegal tak lepas dari persoalan ekonomi dan kebijakan fiskal

Menyoroti kondisi saat ini, dosen kebijakan publik Universitas Negeri Surabaya, Firre An Suprapto, menilai maraknya peredaran rokok ilegal tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi dan kebijakan fiskal yang timpang.

Menurut Firre, daya tarik utama rokok ilegal terletak pada harganya yang jauh lebih murah dibanding rokok legal, meski secara kualitas dianggap serupa oleh konsumen. Kondisi ini membuat rokok ilegal diminati, terutama oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan perokok berat yang sensitif terhadap harga.

“Permintaan terhadap rokok murah membentuk pasar tersendiri yang sulit diberantas hanya dengan razia atau penegakan hukum,” kata Firre dikutip dari Koran Tempo Edisi 11 Juni 2025: Mengapa Peredaran Rokok Ilegal Masih Marak.

Dia berpendapat, selama kebutuhan masyarakat terhadap rokok murah tetap ada, maka peredaran rokok ilegal akan terus berlangsung. Fenomena ini mencerminkan hukum ekonomi sederhana: selama ada permintaan, akan selalu ada penawaran — meskipun melanggar hukum. Firre berujar perbedaan harga yang tajam antara rokok legal dan ilegal dipicu oleh tingginya beban cukai dan pajak.

Hal itu menciptakan insentif kuat bagi produsen dan distributor nakal untuk memasarkan produk ilegal yang lebih murah, sekaligus mendorong konsumen memilihnya.

Karena itu, penindakan hukum tanpa mengatasi akar persoalan, yakni tingginya permintaan dan disparitas harga—hanya akan menjadi solusi sementara. Pengurangan peredaran rokok ilegal harus disertai kebijakan fiskal yang lebih adil serta pendekatan sosial ekonomi.

Firre menyoroti bahwa sanksi hukum bersifat ultimum remedium, atau upaya terakhir setelah pelanggaran terjadi. Sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang, menurut dia, bersifat post factum—baru diberlakukan setelah peristiwa pelanggaran. Pendekatan ini memiliki kelemahan mendasar karena tidak mencegah pelanggaran sejak awal.

Dia menjelaskan jika hanya mengandalkan sanksi hukum tanpa pencegahan yang terintegrasi, maka peredaran rokok ilegal akan terus berulang. Ia mendorong adanya upaya pencegahan yang komprehensif dan terintegrasi, antara lain melalui edukasi publik mengenai bahaya rokok ilegal dan konsekuensi hukumnya, pengawasan distribusi rokok dari hulu ke hilir, serta kolaborasi antara aparat, pemerintah daerah, dan masyarakat. “Yang harus ditutup bukan hanya barang ilegalnya tapi juga pabrik pembuatnya,” ujarnya.

Selain itu, Firre mengingatkan bahwa hukum hanyalah instrumen, sedangkan kunci utama ada pada budaya dan kesadaran masyarakat. Kesadaran ini, kata dia, perlu dibangun lewat kampanye sosial, pendidikan, dan pemberian insentif bagi pelaku usaha yang taat aturan.

Perubahan perilaku memang tidak bisa instan, namun harus dilakukan secara konsisten. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama membangun ekosistem yang mendukung penggunaan produk legal. Sebab, bila tidak ada permintaan, maka penawaran akan hilang dengan sendirinya.

Berdasarkan Pasal 55 huruf (b) dan (c) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 menegaskan bahwa setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyediakan barang kena cukai, termasuk rokok tanpa pita cukai atau menggunakan pita cukai palsu dan bekas, dapat dipidana penjara 1 sampai dengan 8 tahun dan denda 10 sampai 20 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Ketentuan ini memperlihatkan bahwa negara memandang peredaran rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana di bidang cukai yang merugikan negara dan masyarakat.

Dengan dasar hukum tersebut, aparat seperti Bea Cukai, Kepolisian, dan Kejaksaan memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penyidikan, penuntutan, serta menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Namun Firre menegaskan, penegakan hukum saja tidak cukup. Masalah rokok ilegal terlalu kompleks jika hanya diselesaikan di hilir.

Peredaran rokok ilegal adalah persoalan multidimensi yang menuntut pendekatan holistik: pembenahan kebijakan fiskal, penguatan kesadaran masyarakat, serta sistem pencegahan yang terintegrasi. Hanya dengan cara itu, peredaran rokok ilegal bisa benar-benar ditekan secara signifikan.

Peredaran rokok illegal sudah berlangsung lama

Di sisi lain, pakar kebijakan publik Agus Pambagio menilai maraknya peredaran rokok ilegal bukanlah fenomena baru. Menurut dia, praktik penjualan rokok tanpa pita cukai maupun dengan pita cukai palsu sudah berlangsung lama dan hingga kini belum mampu diberantas sepenuhnya.

Agus menjelaskan, persoalan rokok ilegal bukan hanya merugikan negara dari sisi penerimaan cukai, tetapi juga menimbulkan dampak serius bagi kesehatan masyarakat serta mengganggu keadilan antar pelaku usaha. “Produsen yang taat aturan jadi kalah bersaing dengan yang curang,” kata Agus saat dihubungi, pada Rabu, 24 September 2025.

Ia juga menyoroti potensi keterlibatan aparat penegak hukum dalam melindungi atau memperlancar distribusi rokok ilegal. Jika hal itu terbukti, kata Agus, tindakan tegas wajib dijatuhkan. Bila memang terbukti ada aparat yang bermain, maka pimpinannya harus segera melakukan pemecatan. Tidak bisa hanya teguran karena menyangkut integritas lembaga penegak hukum.***

*Liputan ini merupakan kolaborasi dari Mutia Yuantisya, jurnalis Tempo bersama dengan Noura Arifin, jurnalis Ekuatorial.Com serta Arika Hutama, jurnalis Bojonegoro.iNews.id

Editor : Dedi Mahdi

Sebelumnya
Halaman : 1 2 3 4 5

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network