Amburadulnya Penegakan Hukum Rokok Ilegal: Bukti Lemahnya Pengawasan

Arika Hutama
Ilustrasi peredaran rokok ilegal di Indonesia. Foto: Gemini AI

JATIM, iNewsBojonegoro.id - Rokok bodong, begitulah istilah yang lazim digunakan masyarakat Sumenep untuk menyebut rokok tanpa pita cukai alias ilegal. Sumenep dikenal sebagai basis tembakau Madura. Tidak hanya Sumenep, sebenarnya, Pamekasan termasuk salah satu sentra tembakaunya Madura.

Sumenep acap kali disebut sebagai salah satu daerah penghasil tembakau terbaik di Madura, meskipun untuk skala industri rokok nasional tidak sebesar Kudus atau Kediri, namun memiliki banyak ekosistem produksi tembakau dan kretek lokal.

Sebagai lumbung tembakau Madura, Sumenep ternyata menyimpan paradoks. Mengapa begitu? Memiliki kualitas tembakau yang tidak kaleng-kaleng sebagai bagian dari kebanggaan petani tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa limpahan pasokan bahan baku ini justru membuka celah bagi maraknya peredaran rokok illegal.

Bisnis gelap yang terus bertumbuh subur di balik lemahnya pengawasan dan penindakan oleh aparat penegak hukum, serta tingginya permintaan pasar lokal.

Lemahnya pengawasan dan tudingan “beking” APH

Di balik derasnya arus peredaran rokok ilegal di Sumenep, muncul pelbagai tudingan yang cukup meresahkan, yakni adanya main-main kotor aparat penegak hukum dalam bisnis haram ini alih-alih menjadi garda depan dalam memberantas praktik illegal.

Sebagian dari mereka justru mengambil keuntungan, baik melalui pembiaran, perlindungan, maupun pungutan di bawah meja alias penyelesaian hukum secara transaksional. Situasi inilah yang dianggap bahwa upaya pemberantasan, bersih-bersih bisnis rokok ilegal hanya berjalan setengah hati.

Razia hanya menyasar pelaku kecil—perusahaan rokok rumahan, sedangkan jaringan besar tetap bertahan dan beroperasi dengan leluasa. Kondisi semacam ini menegaskan bahwa bisnis rokok ilegal di Sumenep bukan sekedar persoalan ekonomi, melainkan persoalan integritas hukum dan tata kelola pengawasan.

Untuk menelusuri kebenaran atas tudingan lemahnya penegakan hukum dalam bisnis rokok ilegal, Mutia Yuantisya, wartawan Tempo bersama dengan Noura Arifin wartawan Ekuatorial.Com, pada Sabtu, 9 Agustus 2025, memutuskan untuk turun langsung ke lapangan. Tujuan kami, Sumenep—daerah yang dikenal sebagai salah satu lumbung tembakau Madura sekaligus sarang suburnya rokok tanpa cukai alias rokok bodong.

Dalam liputan investigasi kali ini, kami tidak berjalan sendiri. Seorang warga lokal bersedia mendampingi, memberi arahan sekaligus membuka jalan agar kami lebih mudah memahami denyut sosial ekonomi di Sumenep. Ia mengetahui seluk-beluk daerahnya, mulai dari aktivitas pasar, kondisi petani tembakau, hingga bagaimana bisnis rokok ilegal ini beroperasi di balik keseharian masyarakat.

Malam pertama di kota, kami bertemu dengan seorang warga Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Sebut saja Rustam, 43 tahun, bukan nama sebenarnya. Ia membuka cerita tentang geliat bisnis rokok ilegal di wilayahnya—sebuah praktik yang, menurut dia, sudah tak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

“Sekarang sudah semakin terbuka, di pinggir-pinggir jalan. Berbeda dengan dulu yang tersembunyi karena takut,” ujarnya dalam wawancara bersama Mutia dan Noura, pada Sabtu malam, 9 Agustus 2025.

Rustam mengungkapkan bahwa bisnis haram ini sudah bukan rahasia lagi. Tidak hanya masyarakat biasa yang mengetahuinya, aparat penegak hukum pun paham betul soal aktivitas rokok ilegal tersebut. Namun, alih-alih melakukan penindakan, Bea Cukai justru disebut rutin datang untuk meminta jatah dengan menemui pemain besar industri rokok di Sumenep.

Informasi soal setoran itu, kata Rustam, ia dapat ketika sedang ngopi bersama teman-temannya. Dalam obrolan santai itu, mereka membicarakan praktik “main-main” aparat dengan para pengusaha rokok ilegal. Dari percakapan tersebut terungkap, setiap kali petugas Bea Cukai datang menemui pemain besar, jumlah uang yang disetor bukanlah angka kecil. Nilainya fantastis—mencapai Rp 5 miliar sekali kunjungan.

Tak hanya aparat, keterlibatan tokoh masyarakat juga disebut Rustam menjadi bagian dari mata rantai bisnis ini. Dengan gamblang ia menyebut, sejumlah tokoh agama setempat ikut menjadi backing para pemain rokok ilegal.

Menurut Rustam, mereka itu tidak hanya mendapat bagian berupa uang, tetapi juga berbagai fasilitas, contohnya, mobil, dana santunan. Bahkan pada momen-momen tertentu, seperti perayaan hari besar, lembaganya turut kebagian—mulai dari hewan kurban hingga hewan ternak yang peruntukannya tidak dikhususkan pada Hari Raya Idul Adha.

Rustam menekankan, memang tidak semua tokoh terlibat tapi menurut pengamatan dia, jumlah yang menikmati aliran dana haram itu cukup mendominasi.

Industri rokok illegal tumbuh subur

Bukti suburnya bisnis rokok ilegal ini tampak dari menjamurnya gudang penyimpanan maupun tempat produksi. Rustam menyebut, pertumbuhannya begitu cepat dalam waktu singkat.

Jika pada 2023 jumlahnya hanya sekitar tujuh gudang, kini jumlahnya sudah sekitar 12 gudang, untuk Desa Lenteng Barat. Belum dihitung dari desa-desa lain se-Kecamatan Lenteng, Sumenep.

Rustam menilai, alasan utama tidak adanya perlawanan dari masyarakat terhadap bisnis rokok ilegal ini karena mereka menganggapnya sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi sekaligus sumber lapangan pekerjaan.

Praktik haram ini seakan dinormalisasi lantaran warga sendiri turut terlibat di dalamnya. Ia mencontohkan kondisi di lingkungan tempat tinggalnya. Banyak tetangganya bekerja untuk para pemilik gudang rokok bodong dengan tugas melakukan packing. Upah yang mereka terima sekitar Rp 10 ribu untuk setiap 100 bungkus rokok.

Prosesnya sederhana, warga cukup datang ke gudang pada pagi hari, untuk mengambil bahan rokok yang akan dikemas, lalu dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Setelah selesai, pada sore harinya mereka kembali ke gudang untuk menyerahkan hasil packing sekaligus menerima upah. Bila pekerjaan mengemas rokok bodong umumnya dilakukan oleh kaum perempuan, lain halnya dengan para pemuda di wilayah itu. Mereka banyak yang bekerja sebagai kurir, dengan tugas utama mengantar rokok tanpa pita cukai ke luar Madura.

Rustam menuturkan bahwa sebagian besar dari mereka awalnya adalah sopir travel. Melalui ajakan dari mulut ke mulut, profesi mereka bergeser menjadi pengantar rokok ilegal. Setiap kurir biasanya setia bekerja hanya untuk satu pengusaha rokok.

Dalam praktiknya, para kurir inilah yang kerap dijadikan tumbal. Mereka yang ditangkap pada saat ada razia, lalu dibawa ke kantor polisi atau Bea Cukai. Di sana, mereka harus menginap sampai akhirnya ditebus oleh pemilik rokok.

Pemilik rokok dipaksa untuk membayar puluhan juta untuk menebus kurin dan mobil yang ditangkap oleh aparat. Sedangkan untuk rokok bodong, biasanya tidak dikembalikan. Jadi, yang dikembalikan hanya mobil dan kurir. Dalam beberapa kasus, ada rokok ilegal yang dikembalikan tapi jumlahnya tidak utuh.

Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, cawe-cawe aparat, hingga faktor sosial-ekonomi kerap disebut sebagai alasan bisnis rokok bodong tetap subur. Namun, menurut Rustam, ada faktor lain yang membuat praktik ilegal itu bertahan hingga hari ini.

Ia menyebut, para pengusaha rokok berizin justru menjadikan rokok bodong sebagai penopang bisnis mereka. Main curang seperti itu sudah bukan hal tabu lagi di sana. Praktiknya, produk rokok legal yang mereka produksi justru sulit ditemukan di pasaran. Sebaliknya, rokok tanpa cukai yang mereka hasilkan malah paling mudah dijumpai masyarakat.

Rustam bahkan menyinggung salah satu nama besar di balik bisnis rokok di Sumenep, yang diduga ikut terlibat dalam praktik curang itu. Menurut Rustam, rokok tanpa cukai milik dia jauh lebih mudah ditemui di warung-warung kelontong ketimbang rokok legal berpita cukai yang diproduksinya.

“Sultan Madura” kendalikan bisnis rokok illegal di pulau garam

Masalah lain yang membuat perdagangan rokok tanpa pita cukai di Sumenep sulit dilacak adalah mudahnya merek-merek ilegal itu hilang dari pasaran. Para pengusaha disebut memiliki strategi khusus: mengganti merek secara berkala. “Merek yang diperdagangkan tahun lalu, sekarang sudah sulit ditemukan, bahkan bisa jadi sudah tidak ada lagi,” ujar Rustam.

Kondisi tersebut, kata dia, tidak hanya terjadi di Sumenep. Rustam juga menyebut nama berinisial Haji KU, pengusaha besar yang dijuluki Sultan Madura karena kekayaan dan pengaruhnya di daerah itu. Ia memainkan peran serupa dalam jaringan bisnis rokok ilegal di Madura. Selain Sultan Madura, dia juga dijuluki sebagai Sultannya Pamekasan.

Menurut Rustam, posisi HKU bukan sekadar sebagai pemain, melainkan salah satu figur yang memiliki kendali besar terhadap arus produksi dan distribusi rokok tanpa pita cukai di wilayah tersebut.

Beberapa informan dari lingkungan Bea Cukai juga menyebut bahwa HKU termasuk salah satu pengusaha rokok yang dikenal rutin memberikan “jatah” ke sejumlah petinggi di lembaganya. Praktik itu disebut menjadi alasan mengapa aparat terkesan enggan menyentuh bisnisnya. Di kalangan pelaku industri rokok ilegal, nama HKU bahkan kerap disebut sebagai sosok yang “kebal” dari razia.

Kepada HKU Sultan Madura, kami melakukan upaya konfirmasi perihal informasi yang kami peroleh. Dalam tanggapannya, HKU membantah seluruh tudingan itu. “Tidak benar,” jawabnya singkat kepada Tempo, 2 Oktober 2025.

Pada kesempatan berbeda, kami bertemu dengan Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (Apsi) Jawa Timur, Sulaisi Abdurrazaq. Wawancara dilakukan Ahad malam, 10 Agustus 2025, di kediamannya di Desa Ketawang Laok, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.

Malam sebelum bertemu Sulaisi, kami menyempatkan berkeliling Lenteng, Sumenep. Di sepanjang jalan utama, berdiri deretan bangunan berpagarkan beton menjulang. Pagar-pagarnya begitu tinggi hingga hanya atap bangunan di baliknya yang tampak. Dari Rustam, kami mendapat informasi bahwa sembilan bangunan di pinggir jalan itu adalah gudang rokok ilegal milik seorang tokoh berpengaruh di Sumenep.

Di setiap pintu masuk, tampak penjaga berdiri siaga. Mereka berjaga persis di tepi jalan, memperhatikan tiap kendaraan yang melintas. Pagar-pagar itu menutup rapat dunia di dalamnya—tak ada celah bagi mata untuk menangkap aktivitas yang berlangsung.

Namun sore itu, keberuntungan memihak kami. Saat kembali menyusuri jalan yang sama, satu gudang yang posisinya sedikit menjorok dari jalur utama tampak sedikit terbuka. Beberapa petugas keamanan mengatur arus kendaraan untuk memberi jalan para pekerja yang keluar dari gerbang. Jarum jam menunjuk sekitar pukul lima. Menurut Rustam, orang-orang yang kami lihat berhamburan keluar itu adalah buruh gudang rokok ilegal.

Kami kemudian membandingkan pemandangan tersebut dengan gudang rokok milik perusahaan nasional, yang berada di Jalan Ganding, Guluk-Guluk, Sumenep. Kontrasnya mencolok. Dari balik kaca mobil, bangunan itu tampak jelas. Pagarnya bukan beton masif yang menutup rapat seluruh struktur, tidak seperti gudang-gudang yang kami lihat di Lenteng—yang lebih menyerupai benteng daripada tempat usaha.

Pengedar rokok illegal tertangkap APH, minta “Ditebus”

Sekitar pukul 9 malam, kami bertemu Sulaisi, yang pernah membela seorang pemilik perusahaan rokok bodong berskala kecil, menceritakan peristiwa yang menimpa kliennya. Pada awal Juni 2023, sekitar pukul 22.00 WIB, sopir yang dipekerjakan oleh kliennya ditangkap polisi di Sampang. Sopir itu ditangkap pada saat mengendarai mobil L300 berwarna hitam yang berisi muatan rokok tanpa pita cukai.

“Jadi dia mau mengirim rokok, memang dia tegaskan itu rokok ilegal, jalan melintas di Sampang kena razia,” kata Sulaisi kepada Mutia dan Noura.

Setelah penangkapan, seorang polisi meminta uang tebusan sebesar Rp 50 juta. Permintaan itu jelas mustahil dipenuhi sang sopir. Sebab, ia hanyalah driver, bukan pemilik rokok.

Empat hari kemudian, Jumat 9 Juni 2023, pemilik rokok mendatangi Polres Sampang untuk membicarakan nasib mobil dan muatannya. Negosiasi berlangsung alot. Kepada pemilik rokok ilegal itu—klien Sulaisi, polisi masih meminta tebusan Rp 50 juta, namun kliennya  hanya sanggup membayar Rp 20 juta. Polisi menolak. Setelah melalui proses negosiasi yang alot, pada Senin 12 Juni 2023, disepakati bahwa mobil bersama muatannya bisa ditebus dengan nominal Rp 30 juta.

Namun, setelah mobil berhasil keluar dari Polres Sampang, pemilik rokok mendapati muatan di dalamnya tidak lagi utuh. Ia segera menyampaikan temuannya kepada Sulaisi. Sang pemilik menduga kuat rokok-rokok itu telah “dimaling” ketika mobil disita di kantor polisi.

Menurut perhitungannya, sekitar 80 bal—setara dengan 8 ribu bungkus rokok—hilang tanpa jejak. Bagi seorang pengusaha kecil, jumlah itu jelas bukan kerugian sepele apalagi modal usaha itu didapat dari pinjaman koperasi.

Menanggapi laporan kliennya, Sulaisi pun memutuskan untuk tidak tinggal diam. Ia menyebarkan kasus ini kepada sejumlah wartawan. Pemberitaan pun merebak, menyeret nama Polres Sampang ke ranah publik.

Tak lama berselang, telepon dari Kasat Intelkam Polres Sampang, Joko, masuk ke ponselnya. Inti dari pembicaraan telepon itu, polisi merasa keberatan dengan tulisan Sulaisi yang sudah beredar di media. Mereka meminta bertemu untuk membicarakan kasus hilangnya barang bukti rokok dari mobil kliennya.

Terjadilah pertemuan itu di salah satu hotel di Pamekasan. Malam itu, Sulaisi tak datang seorang diri, dia bersama rekannya. Mereka membicarakan mengenai barang bukti bersama Kapolres Sampang kala itu, Siswantoro dan Kasat Intelkam, Joko.

Siswantoro, yang baru menjabat Kapolres saat itu, akhirnya turun tangan untuk meredam persoalan. Uang pengganti senilai Rp 80 juta dikembalikan kepada pemilik rokok. “Sehari setelah itu, uang sudah dikembalikan ke klien saya. Akhirnya, clear,” ujarnya.

Pengiriman rokok illegal bisa “dikawal” aparat

Tidak berhenti pada kronologi hilangnya barang bukti, Sulaisi juga mengklaim memiliki sebuah rekaman video berdurasi 2 menit 34 detik. Rekaman itu menampilkan seorang polisi tengah menjelaskan skema “pengamanan” untuk arus lalu lintas rokok ilegal di Sampang.

Dalam video tersebut, polisi itu terang-terangan menyebutkan bahwa pengamanan bisa dilakukan dengan sistem sekali jalan, atau melalui setoran bulanan—tentu dengan catatan, harus sesuai dan disetujui oleh pimpinannya. Sayangnya, Sulaisi mengaku lupa nama maupun pangkat polisi yang terlibat dalam rekaman tersebut.

Kasus itu membuka tabir lebih luas—soal adanya setoran rutin dari pengusaha rokok ilegal ke aparat. Informasi yang diperoleh menunjukkan, hampir semua pengusaha di Sumenep dipaksa menyetor setiap bulan ke oknum kepolisian.

Angkanya bervariasi, mulai Rp 15 juta hingga Rp 25 juta, tergantung wilayah dan besarnya usaha. Setoran itu tidak diserahkan langsung, melainkan melalui seorang fasilitator—semacam perantara atau makelar.

Kepada kami, Sulaisi membacakan catatan yang disimpan dalam ponselnya. Catatan itu memuat adanya dua nama yang menjadi “donatur” bagi seorang anggota Resmob berinisial D, yang bertugas di Polres Sumenep. Keduanya adalah K, Kepala Desa di Lenteng sekaligus pemilik perusahaan rokok tanpa pita cukai yang disebut menyetor Rp 25 juta setiap bulan, serta HY, pengusaha asal Batu Putih, yang rutin menyetor Rp 15 juta.

Untuk alurnya, kedua orang tersebut menyerahkan uang kepada seorang fasilitator—bukan polisi, yang kemudian diserahkan kepada anggota Resmob berinisial D.

Perihal dugaan adanya setoran dari pengusaha rokok ilegal kepada anggota Resmob, Kapolres Sumenep AKBP Rivanda menyampaikan telah menindaklanjuti informasi tersebut dengan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). “Sudah ditindaklanjuti untuk dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan sampai detik ini belum ditemukan,” kata Rivanda saat dikonfirmasi Tempo melalui pesan singkat, Selasa, 30 September 2025.

Rivanda berujar bahwa laporan itu juga telah diteruskan kepada Kepala Unit Profesi dan Pengamanan (Kanit Propam) Polres Sumenep. Ia mengimbau masyarakat untuk melapor langsung ke Unit Propam jika menemukan indikasi penyimpangan oleh oknum polisi.

“Kalau ada masyarakat yang merasa tidak puas terhadap pelayanan atau menduga ada penyimpangan oleh anggota, bisa langsung datang ke Unit Propam. Biar bisa kami tindak lanjuti,” ujarnya.

Ia juga membuka ruang bagi siapa pun yang memiliki informasi lebih akurat untuk datang ke Polres Sumenep agar proses pengecekan bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Serupa dengan Rustam, Sulaisi juga mengungkap praktik curang para pengusaha rokok legal dalam bisnis rokok ilegal. Ia menegaskan, bisnis rokok yang benar-benar hidup di Sumenep bukanlah rokok berpita cukai, melainkan rokok tanpa cukai. Produk legal, menurutnya, hanya dijadikan tameng perusahaan agar terhindar dari jeratan petugas.

Ia juga mengamini soal pendeknya umur merek rokok ilegal yang beredar di pasaran. Gonta ganti merek, kata dia, adalah yang biasa. Tak hanya itu, ia justru mengungkap fenomena unik—tiruan terhadap merek rokok ilegal.

Strategi tiru nama rokok yang laku keras di pasaran

Ia mencontohkan, ketika satu perusahaan meluncurkan rokok bodong bermerek AB dan laku keras, perusahaan lain akan menirunya dengan mengeluarkan merek serupa. Tujuannya jelas, mencuri pangsa pasar dan meraup keuntungan yang sama. Namun, praktik itu nyaris selalu gagal. Konsumen, kata dia, sudah bisa membedakan mana produk asli dan mana yang sekadar tiruan.

Selain faktor konsumen, pemilik merek rokok ilegal yang asli juga tidak tinggal diam. Mereka biasanya langsung mengambil langkah untuk menjaga pasar dan memastikan produk tiruan tidak mampu bertahan lama.

Pencarian informasi tak berhenti pada Rustam dan Sulaisi. Kami akhirnya mendapat cerita dari Carlos—bukan nama sebenarnya—seorang kurir rokok ilegal berusia 27 tahun. Carlos bersedia berbagi pengalamannya melalui sambungan telepon.

Carlos mengaku awalnya tak pernah terpikir menjadi kurir rokok ilegal. “Awalnya kerja di travel, pasti kan travel banyak kenalan di pelosok-pelosok. Ada orang mau ngirim paket katanya...paket rokok,” ujarnya melalui sambungan telepon. Dari sanalah ia mulai ditawari pekerjaan mengantarkan rokok tanpa cukai.

Carlos mendapat upah yang dihitung per bal dengan nominal Rp 100-Rp 110 ribu, kala itu. Satu bal berisi 20 pres, untuk bal berukuran kecil berisi 10 pres. Untuk membawa rokok-rokok itu ke luar Madura, ia memodifikasi mobil Wuling Confero dengan melepas kursi tengah dan belakang agar bisa memuat maksimal 115 bal sekali jalan. Dalam sekali angkut, minimal ia membawa 100 atau 80 bal rokok ilegal.

Carlos pertama kali menjalani pekerjaan itu pada 2022 dan hanya melayani satu pemasok yang rutin mengirim ke Jakarta. “Saya memprioritaskan ke satu orang saja. Tapi syaratnya mobil harus penuh,” katanya.

Ditangkap APH, dan tebusan puluhan juta

Dia pun menceritakan momen ketika tertangkap. Dia tidak begitu mengingat persis kapan kejadian itu terjadi. Dia merasa penangkapan terjadi sekitar 2022 atau 2023. Malam itu, sekitar pukul tiga dini hari, ia berangkat dari Madura menuju Surabaya.

Waktu subuh dipilih karena dianggap paling aman melewati jembatan Suramadu. Mengendarai mobil pribadi Wuling Confero yang telah dimodifikasi agar muat penuh bal rokok, Carlos masuk jalan tol Tambak Sumur, tak jauh dari Bandara Juanda.

Ia sempat berhenti sebentar untuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dua mobil—satu unit mobil berukuran 4x4 Nissan Navara dan Innova Reborn—mendekat, membuntuti, lalu memepetnya.

Dari dua mobil itu, muncul beberapa petugas Bea Cukai. Kepada Carlos, mereka mengaku sudah mendapat informasi dari Madura kalau mobil yang dikendarainya membawa rokok ilegal. Carlos dan satu orang temannya pasrah, mereka memilih tidak melawan dan menuruti perintah sang petugas.

Carlos bersama dengan temannya yang merupakan supir pengganti dibawa ke Kantor Bea Cukai. Di sana, seluruh barang pribadi disita, mulai dari ponsel, dompet, surat kendaraan, dan mobil beserta muatan rokoknya. Mereka ditahan sehari semalam karena menunggu konfirmasi dari pemilik barang.

Setelah diproses, petugas mengambil foto Carlos di kantor Bea Cukai dan diberi surat penangkapan sebelum dipulangkan ke Madura, namun mobil dan rokok masih disita. Menurut dia, pemilik barang kemudian diminta menebus mobil dengan uang Rp 30 juta dari permintaan awal lebih dari Rp 100 juta.

Meskipun sudah ditembus, rokok-rokok ilegal itu tetap disita. Hanya mobil yang berhasil dibawa. Ia berkata bahwa para pengusaha kecil seperti bosnya jarang lolos ketika barang mereka tertangkap. Berbeda dengan pengusaha besar yang bermain dengan skala kontainer dan biasanya memiliki “uang keamanan” serta pengawalan.

Menurut Carlos, produksi rokok ilegal terbesar di Madura terkonsentrasi di dua kabupaten, Pamekasan dan Sumenep. Keduanya bersaing ketat, dikuasai pengusaha besar yang sama-sama punya perusahaan rokok legal tapi menggantungkan keuntungan dari rokok tanpa pita cukai. Pengusaha besar yang dimaksud, yakni HKU—Pamekasan dan seorang tokoh haji di Sumenep.

Ia menyebut beberapa merek milik kedua pengusaha tersebut meski tak semuanya diingat. Di antaranya, A,G,GB, Fl, P, R, dan Fa. Beberapa merek bahkan dipalsukan oleh pengusaha menengah demi menunggangi popularitas produk asli. Pernyataan Carlos ini pun menguatkan pernyataan Rustam dan Sulaisi.

Selain Carlos, ada Martin—bukan nama sebenarnya—asal Pamekasan, 28 tahun, menjadi kurir rokok ilegal sejak 2022. Dalam wawancara melalui pesan suara di aplikasi WhatsApp kepada wartawan Tempo, Mutia, pada Kamis, 25 September 2025, Martin menceritakan awal mula dirinya terjerat dalam bisnis pengiriman rokok tanpa cukai ini.

“Pertama kali itu diajak teman buat ngirim barang,” kata Martin. Saat itu, ia tak mengetahui secara jelas barang apa yang diangkutnya. Belakangan, ia baru menyadari bahwa muatan tersebut adalah rokok tanpa cukai, atau biasa disebut “rokok bodong”.

Martin mengaku tergiur oleh imbalan yang diberikan. Dalam setiap perjalanan, ia membawa sekitar 90 bal rokok, masing-masing berisi 20 press atau slot. Dari hasil pengiriman itu, ia menerima bayaran Rp 1,5 juta, ditambah uang operasional sebesar Rp 4 juta. Sistem kerja Martin cukup sederhana. Ia tidak pernah mengurus pengemasan atau negosiasi. Semua sudah disiapkan oleh pihak pemilik usaha.

Pengiriman dilakukan tanpa jadwal tetap. Kadang pagi, kadang malam. Tujuannya jelas, menghindari razia dari pihak kepolisian maupun Bea Cukai. Pada 2023, Martin tertangkap oleh Patroli Jalan Raya (PJR) Polda Jatim VIII Suramadu saat mengirimkan rokok tanpa cukai dari Pamekasan menuju Surabaya. Insiden itu terjadi di Jalan Raya Tangkel, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan. Saat itu, Martin menepi untuk makan sebelum melanjutkan perjalanan.

Namun, belum lama meninggalkan lokasi makan, empat polisi PJR yang berada di belakangnya memberi isyarat untuk berhenti.

Polisi kemudian meminta surat-surat kendaraan dan dokumen muatan. Karena tidak bisa menunjukkan legalitas barang yang dibawa, Martin langsung dibawa ke kantor PJR Bangkalan bersama mobil Avanza milik bosnya yang memuat 95 bal rokok ilegal. Martin mengaku diperiksa di kantor PJR sejak sore sekitar pukul 16.00, waktu setempat. Dia tidak mengalami kekerasan fisik saat menjalani pemeriksaan.

Namun ada yang menarik, Martin mengaku hanya ditahan beberapa jam. Pada malam hari, ia dibebaskan setelah pemilik rokok ilegal membayar uang tebusan sebesar Rp 55 juta. Rokok ilegal yang dibawa Martin berasal dari Pamekasan, salah satu wilayah di Madura yang dikenal sebagai pusat produksi rokok tanpa cukai. Modusnya serupa, diproduksi di skala rumahan, dikirim melalui jalur darat ke Surabaya, lalu disebarkan ke berbagai daerah.

Pengalaman Carlos dan Martin memperlihatkan hal itu dengan jelas bahwa mereka hanya kurir, namun menanggung risiko di lapangan. Sementara pemilik barang justru bisa “menebus” kebebasannya dengan uang.

Kasus Carlos dan Martin menggambarkan bagaimana peredaran rokok ilegal berjalan nyaris tanpa hambatan di Madura. Iming-iming upah besar membuat banyak warga rela mengambil risiko hukum, sementara dugaan penyelesaian non-prosedural di tingkat penegakan hukum memperparah masalah. Bisnis rokok ilegal ini bukan hanya persoalan ekonomi tapi soal tata kelola hukum.

Upaya konfirmasi terhadap sejumlah nama yang disebut-sebut terlibat dalam praktik culas bisnis rokok ilegal terus dilakukan. Di antaranya, mantan Kepala Satuan Intelkam Polres Sampang, Joko Setyono, yang namanya disebut oleh Sulaisi, menegaskan tidak pernah terlibat dalam peredaran rokok bodong.

“Selama ini saya tidak pernah menangani rokok ilegal,” ujar Joko saat dihubungi melalui sambungan telepon oleh jurnalis iNews Bojonegoro, Arika Hutama, pada Rabu, 24 September 2025. Ia menekankan bahwa ranah intelijen kepolisian tidak memiliki keterkaitan langsung dengan aktivitas perdagangan rokok ilegal.

Joko juga membantah kabar adanya pertemuan di salah satu hotel di Pamekasan yang disebut melibatkan dirinya. Ia mengaku, memang mengenal baik Sulaisi. Sedangkan Kapolres Sampang kala itu, hingga tulisan ini tayang, tak kunjung merespons upaya konfirmasi.

Komitmen Bea Cukai brantas rokok ilegal

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Djaka Budhi Utama, menegaskan komitmen lembaganya dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal, termasuk di wilayah Madura. Ia menyebut, data penindakan menunjukkan tren peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.

Di wilayah kerja Bea Cukai Madura, jumlah barang hasil penindakan pada 2023 meningkat lebih dari 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Komitmen tersebut juga tercermin dari peningkatan nilai sanksi administrasi di bidang cukai, yakni sebesar Rp 2,8 miliar pada 2024 dan Rp 4,5 miliar pada 2025.

Sementara penyelesaian perkara melalui mekanisme ultimum remedium (UR) turut meningkat, dari Rp 2,6 miliar pada 2023 menjadi Rp 8,3 miliar pada 2024, dan mencapai Rp 9,2 miliar hingga Oktober 2025.

Djaka menjelaskan, jumlah perkara yang naik ke tahap penyidikan pun mengalami lonjakan, dari tiga kasus pada 2023 menjadi delapan belas kasus pada 2025. “Data tersebut menunjukkan bahwa Bea Cukai tidak pernah menutup mata terhadap aktivitas produksi maupun peredaran rokok ilegal, termasuk di Madura,” kata Djaka kepada Tempo, Selasa, 14 Oktober 2025.

Ia menuturkan, penindakan dilakukan secara menyeluruh—mulai dari tingkat produsen, perlintasan domestik, hingga pemasaran di pasar tradisional maupun online market. Djaka juga menegaskan bahwa penyelesaian pelanggaran di bidang cukai tidak selalu berakhir dengan sanksi pidana.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Bea Cukai memiliki kewenangan menyelesaikan perkara melalui mekanisme ultimum remedium, yaitu dengan sanksi administratif berupa denda.

Menurut Djaka, mekanisme tersebut sejalan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang mengedepankan kemanfaatan hukum. Pemidanaan tetap dilakukan apabila pelaku tidak melaksanakan kewajiban pembayaran denda administratif.

Sayangnya, konsep ini sering disalahpahami sebagai uang tebusan, padahal merupakan bagian dari sistem penegakan hukum yang berorientasi pada kepatuhan dan efek jera. Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 63 Undang-Undang Cukai, Bea Cukai memiliki kewenangan melakukan penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, hingga penyidikan terhadap dugaan pelanggaran di bidang cukai.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Budi Prasetiyo, menjelaskan mekanisme perhitungan sanksi administratif berupa denda dalam penerapan asas ultimum remedium (UR). Menurutnya, dasar perhitungan denda ditentukan dari jumlah Barang Kena Cukai (BKC) yang telah dilakukan penindakan oleh DJBC.

“Jumlah BKC ini tercantum dalam dokumen Surat Bukti Penindakan (SBP). Jadi, BKC yang sudah dilakukan penindakan tidak dapat berubah,” kata Budi saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Jumat, 31 Oktober 2025.

Ia menjelaskan bahwa perhitungan besaran sanksi administratif dilakukan oleh pihak yang berwenang di setiap tahapan UR. Dalam tahap penyidikan, denda dihitung oleh ahli cukai sebesar empat kali nilai cukai. Sementara dalam tahap penelitian, perhitungannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebesar tiga kali nilai cukai.

Budi mengungkapkan bahwa ada dua jenis ultimum remedium yang diterapkan, yaitu tahap penelitian dan tahap penyidikan. Pada tahap penelitian, seluruh proses penyelesaian berada di lingkungan DJBC. Sedangkan pada tahap penyidikan, permohonan awal diajukan ke DJBC, namun keputusan penyelesaiannya berada di Kejaksaan Agung.

Penindakan dan Pemusnahan Jutaan batang rokok illegal Bea Cukai

Untuk tindak pidana cukai, penyidikannya dilakukan oleh PPNS DJBC. Prinsip yang digunakan adalah lex specialis derogat lex generalis, sehingga yang berwenang mengenakan sanksi ultimum remedium hanya Bea Cukai.

Teranyar, Kantor Bea Cukai Blitar, Jawa Timur, memusnahkan lebih dari 1,29 juta batang rokok ilegal senilai Rp 1,78 miliar, pada Kamis, 23 Oktober 2025, di halaman Kantor Bea Cukai Blitar. “Total kami memusnahkan 1.296.000 batang rokok tanpa pita cukai jenis sigaret kretek mesin (SKM), nilainya diperkirakan mencapai Rp 1.788.480.000,” kata Kepala Bea Cukai Blitar Nurtjahjo Budidananto dalam keterangan resmi, Jumat, 31 Oktober 2025.

Bea Cukai Blitar telah melakukan 179 kali penindakan dengan hasil sitaan 3.403.556 batang rokok ilegal dan 2.486,26 liter MMEA ilegal senilai Rp 3,43 miliar sepanjang 2024. Hingga September 2025, telah dilakukan 135 kali penindakan dengan barang bukti 1.949.960 batang rokok ilegal dan 608 liter MMEA ilegal, dengan nilai total Rp 2,98 miliar dan potensi kerugian negara yang berhasil diselamatkan mencapai Rp 2,02 miliar.

Berikutnya, perkara tindak pidana di bidang cukai di Banyuwangi, Jawa Timur, resmi naik ke tahap P-21 atau dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Kasus ini bermula dari laporan polisi Nomor LP/A/3/IX/2025 yang diterbitkan Polsek Rogojampi pada 2 September 2025.

Dalam laporan itu, seorang pria berinisial AT (38) tertangkap tangan menjual dan memiliki rokok tanpa pita cukai di Dusun Bades, Kelurahan Karang Bendo, Kecamatan Rogojampi. Berdasarkan hasil pemeriksaan, AT diketahui pernah tersangkut kasus serupa pada 2020.

“Ia mengaku mendapatkan pasokan rokok ilegal dari seseorang berinisial J, warga Madura, yang kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO),” kata Kepala Kantor Bea Cukai Banyuwangi, Latif Helmi, dalam keterangan resmi.

Dari penindakan tersebut, petugas menyita 118.400 batang rokok ilegal dengan nilai barang sekitar Rp 178 juta dan potensi kerugian negara mencapai Rp 89,6 juta. AT dijerat Pasal 54 dan/atau Pasal 56 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

Ancaman hukumannya berupa pidana penjara satu hingga lima tahun dan/atau denda dua hingga sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Akademisi: Peredaran rokok illegal tak lepas dari persoalan ekonomi dan kebijakan fiskal

Menyoroti kondisi saat ini, dosen kebijakan publik Universitas Negeri Surabaya, Firre An Suprapto, menilai maraknya peredaran rokok ilegal tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi dan kebijakan fiskal yang timpang.

Menurut Firre, daya tarik utama rokok ilegal terletak pada harganya yang jauh lebih murah dibanding rokok legal, meski secara kualitas dianggap serupa oleh konsumen. Kondisi ini membuat rokok ilegal diminati, terutama oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan perokok berat yang sensitif terhadap harga.

“Permintaan terhadap rokok murah membentuk pasar tersendiri yang sulit diberantas hanya dengan razia atau penegakan hukum,” kata Firre dikutip dari Koran Tempo Edisi 11 Juni 2025: Mengapa Peredaran Rokok Ilegal Masih Marak.

Dia berpendapat, selama kebutuhan masyarakat terhadap rokok murah tetap ada, maka peredaran rokok ilegal akan terus berlangsung. Fenomena ini mencerminkan hukum ekonomi sederhana: selama ada permintaan, akan selalu ada penawaran — meskipun melanggar hukum. Firre berujar perbedaan harga yang tajam antara rokok legal dan ilegal dipicu oleh tingginya beban cukai dan pajak.

Hal itu menciptakan insentif kuat bagi produsen dan distributor nakal untuk memasarkan produk ilegal yang lebih murah, sekaligus mendorong konsumen memilihnya.

Karena itu, penindakan hukum tanpa mengatasi akar persoalan, yakni tingginya permintaan dan disparitas harga—hanya akan menjadi solusi sementara. Pengurangan peredaran rokok ilegal harus disertai kebijakan fiskal yang lebih adil serta pendekatan sosial ekonomi.

Firre menyoroti bahwa sanksi hukum bersifat ultimum remedium, atau upaya terakhir setelah pelanggaran terjadi. Sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang, menurut dia, bersifat post factum—baru diberlakukan setelah peristiwa pelanggaran. Pendekatan ini memiliki kelemahan mendasar karena tidak mencegah pelanggaran sejak awal.

Dia menjelaskan jika hanya mengandalkan sanksi hukum tanpa pencegahan yang terintegrasi, maka peredaran rokok ilegal akan terus berulang. Ia mendorong adanya upaya pencegahan yang komprehensif dan terintegrasi, antara lain melalui edukasi publik mengenai bahaya rokok ilegal dan konsekuensi hukumnya, pengawasan distribusi rokok dari hulu ke hilir, serta kolaborasi antara aparat, pemerintah daerah, dan masyarakat. “Yang harus ditutup bukan hanya barang ilegalnya tapi juga pabrik pembuatnya,” ujarnya.

Selain itu, Firre mengingatkan bahwa hukum hanyalah instrumen, sedangkan kunci utama ada pada budaya dan kesadaran masyarakat. Kesadaran ini, kata dia, perlu dibangun lewat kampanye sosial, pendidikan, dan pemberian insentif bagi pelaku usaha yang taat aturan.

Perubahan perilaku memang tidak bisa instan, namun harus dilakukan secara konsisten. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama membangun ekosistem yang mendukung penggunaan produk legal. Sebab, bila tidak ada permintaan, maka penawaran akan hilang dengan sendirinya.

Berdasarkan Pasal 55 huruf (b) dan (c) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 menegaskan bahwa setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyediakan barang kena cukai, termasuk rokok tanpa pita cukai atau menggunakan pita cukai palsu dan bekas, dapat dipidana penjara 1 sampai dengan 8 tahun dan denda 10 sampai 20 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Ketentuan ini memperlihatkan bahwa negara memandang peredaran rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana di bidang cukai yang merugikan negara dan masyarakat.

Dengan dasar hukum tersebut, aparat seperti Bea Cukai, Kepolisian, dan Kejaksaan memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penyidikan, penuntutan, serta menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Namun Firre menegaskan, penegakan hukum saja tidak cukup. Masalah rokok ilegal terlalu kompleks jika hanya diselesaikan di hilir.

Peredaran rokok ilegal adalah persoalan multidimensi yang menuntut pendekatan holistik: pembenahan kebijakan fiskal, penguatan kesadaran masyarakat, serta sistem pencegahan yang terintegrasi. Hanya dengan cara itu, peredaran rokok ilegal bisa benar-benar ditekan secara signifikan.

Peredaran rokok illegal sudah berlangsung lama

Di sisi lain, pakar kebijakan publik Agus Pambagio menilai maraknya peredaran rokok ilegal bukanlah fenomena baru. Menurut dia, praktik penjualan rokok tanpa pita cukai maupun dengan pita cukai palsu sudah berlangsung lama dan hingga kini belum mampu diberantas sepenuhnya.

Agus menjelaskan, persoalan rokok ilegal bukan hanya merugikan negara dari sisi penerimaan cukai, tetapi juga menimbulkan dampak serius bagi kesehatan masyarakat serta mengganggu keadilan antar pelaku usaha. “Produsen yang taat aturan jadi kalah bersaing dengan yang curang,” kata Agus saat dihubungi, pada Rabu, 24 September 2025.

Ia juga menyoroti potensi keterlibatan aparat penegak hukum dalam melindungi atau memperlancar distribusi rokok ilegal. Jika hal itu terbukti, kata Agus, tindakan tegas wajib dijatuhkan. Bila memang terbukti ada aparat yang bermain, maka pimpinannya harus segera melakukan pemecatan. Tidak bisa hanya teguran karena menyangkut integritas lembaga penegak hukum.***

*Liputan ini merupakan kolaborasi dari Mutia Yuantisya, jurnalis Tempo bersama dengan Noura Arifin, jurnalis Ekuatorial.Com serta Arika Hutama, jurnalis Bojonegoro.iNews.id

Editor : Dedi Mahdi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network