Amburadulnya Penegakan Hukum Rokok Ilegal: Bukti Lemahnya Pengawasan

Arika Hutama
Ilustrasi peredaran rokok ilegal di Indonesia. Foto: Gemini AI

JATIM, iNewsBojonegoro.id - Rokok bodong, begitulah istilah yang lazim digunakan masyarakat Sumenep untuk menyebut rokok tanpa pita cukai alias ilegal. Sumenep dikenal sebagai basis tembakau Madura. Tidak hanya Sumenep, sebenarnya, Pamekasan termasuk salah satu sentra tembakaunya Madura.

Sumenep acap kali disebut sebagai salah satu daerah penghasil tembakau terbaik di Madura, meskipun untuk skala industri rokok nasional tidak sebesar Kudus atau Kediri, namun memiliki banyak ekosistem produksi tembakau dan kretek lokal.

Sebagai lumbung tembakau Madura, Sumenep ternyata menyimpan paradoks. Mengapa begitu? Memiliki kualitas tembakau yang tidak kaleng-kaleng sebagai bagian dari kebanggaan petani tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa limpahan pasokan bahan baku ini justru membuka celah bagi maraknya peredaran rokok illegal.

Bisnis gelap yang terus bertumbuh subur di balik lemahnya pengawasan dan penindakan oleh aparat penegak hukum, serta tingginya permintaan pasar lokal.

Lemahnya pengawasan dan tudingan “beking” APH

Di balik derasnya arus peredaran rokok ilegal di Sumenep, muncul pelbagai tudingan yang cukup meresahkan, yakni adanya main-main kotor aparat penegak hukum dalam bisnis haram ini alih-alih menjadi garda depan dalam memberantas praktik illegal.

Sebagian dari mereka justru mengambil keuntungan, baik melalui pembiaran, perlindungan, maupun pungutan di bawah meja alias penyelesaian hukum secara transaksional. Situasi inilah yang dianggap bahwa upaya pemberantasan, bersih-bersih bisnis rokok ilegal hanya berjalan setengah hati.

Razia hanya menyasar pelaku kecil—perusahaan rokok rumahan, sedangkan jaringan besar tetap bertahan dan beroperasi dengan leluasa. Kondisi semacam ini menegaskan bahwa bisnis rokok ilegal di Sumenep bukan sekedar persoalan ekonomi, melainkan persoalan integritas hukum dan tata kelola pengawasan.

Untuk menelusuri kebenaran atas tudingan lemahnya penegakan hukum dalam bisnis rokok ilegal, Mutia Yuantisya, wartawan Tempo bersama dengan Noura Arifin wartawan Ekuatorial.Com, pada Sabtu, 9 Agustus 2025, memutuskan untuk turun langsung ke lapangan. Tujuan kami, Sumenep—daerah yang dikenal sebagai salah satu lumbung tembakau Madura sekaligus sarang suburnya rokok tanpa cukai alias rokok bodong.

Dalam liputan investigasi kali ini, kami tidak berjalan sendiri. Seorang warga lokal bersedia mendampingi, memberi arahan sekaligus membuka jalan agar kami lebih mudah memahami denyut sosial ekonomi di Sumenep. Ia mengetahui seluk-beluk daerahnya, mulai dari aktivitas pasar, kondisi petani tembakau, hingga bagaimana bisnis rokok ilegal ini beroperasi di balik keseharian masyarakat.

Malam pertama di kota, kami bertemu dengan seorang warga Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Sebut saja Rustam, 43 tahun, bukan nama sebenarnya. Ia membuka cerita tentang geliat bisnis rokok ilegal di wilayahnya—sebuah praktik yang, menurut dia, sudah tak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

“Sekarang sudah semakin terbuka, di pinggir-pinggir jalan. Berbeda dengan dulu yang tersembunyi karena takut,” ujarnya dalam wawancara bersama Mutia dan Noura, pada Sabtu malam, 9 Agustus 2025.

Rustam mengungkapkan bahwa bisnis haram ini sudah bukan rahasia lagi. Tidak hanya masyarakat biasa yang mengetahuinya, aparat penegak hukum pun paham betul soal aktivitas rokok ilegal tersebut. Namun, alih-alih melakukan penindakan, Bea Cukai justru disebut rutin datang untuk meminta jatah dengan menemui pemain besar industri rokok di Sumenep.

Informasi soal setoran itu, kata Rustam, ia dapat ketika sedang ngopi bersama teman-temannya. Dalam obrolan santai itu, mereka membicarakan praktik “main-main” aparat dengan para pengusaha rokok ilegal. Dari percakapan tersebut terungkap, setiap kali petugas Bea Cukai datang menemui pemain besar, jumlah uang yang disetor bukanlah angka kecil. Nilainya fantastis—mencapai Rp 5 miliar sekali kunjungan.

Tak hanya aparat, keterlibatan tokoh masyarakat juga disebut Rustam menjadi bagian dari mata rantai bisnis ini. Dengan gamblang ia menyebut, sejumlah tokoh agama setempat ikut menjadi backing para pemain rokok ilegal.

Menurut Rustam, mereka itu tidak hanya mendapat bagian berupa uang, tetapi juga berbagai fasilitas, contohnya, mobil, dana santunan. Bahkan pada momen-momen tertentu, seperti perayaan hari besar, lembaganya turut kebagian—mulai dari hewan kurban hingga hewan ternak yang peruntukannya tidak dikhususkan pada Hari Raya Idul Adha.

Rustam menekankan, memang tidak semua tokoh terlibat tapi menurut pengamatan dia, jumlah yang menikmati aliran dana haram itu cukup mendominasi.

Industri rokok illegal tumbuh subur

Bukti suburnya bisnis rokok ilegal ini tampak dari menjamurnya gudang penyimpanan maupun tempat produksi. Rustam menyebut, pertumbuhannya begitu cepat dalam waktu singkat.

Jika pada 2023 jumlahnya hanya sekitar tujuh gudang, kini jumlahnya sudah sekitar 12 gudang, untuk Desa Lenteng Barat. Belum dihitung dari desa-desa lain se-Kecamatan Lenteng, Sumenep.

Rustam menilai, alasan utama tidak adanya perlawanan dari masyarakat terhadap bisnis rokok ilegal ini karena mereka menganggapnya sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi sekaligus sumber lapangan pekerjaan.

Editor : Dedi Mahdi

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4 5

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network