TUBAN, iNewsBojonegoro.id - Terjadi kasus persetubuhan yang dialami anak usai 14 tahun di Kecamatan Plumpang, korban saat ini hamil 8 bulan. Melihat situasi tersebut Nunuk Fauziah Direktur LBH KP.Ronggolwe mendesak Kepada Kapolres Tuban untuk segera menangkap terduga pelaku persetubuhan. Sabtu (23/6/2022)
Selain itu, meminta kepada Pemerintah Kabupaten Tuban untuk melakukan tindakan dan penanganan dengan cepat dan tanggap untuk memberikan perlindungan bagi korban dengan mengerahkan semua perangkatnya.
Seharusnya Polres Tuban segera melakukan penanganan dan penangkapan terhadap pelaku kekerasan seksual sesuai dengan mandate UU nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlidungan Anak dan UU Nomor 22 tahun 2022 tentang tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Berkaca dari kasus kekerasan seksual di Kabupaten Jombang, Banyuwangi dan Malang yang begitu dramatis. Jangan sampai drama penangkapan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual tersebut juga dialami di Kabupaten Tuban jika tidak segera mengambil langkah cepat.
Sedangkan Pemerintah Kabupaten Tuban dengan semua perangkatnya melalui P2TP2A memberikan layanan bagi korban. Antara lain konseling, rumah aman, layanan medis mengingat bahwa korban saat ini sedang hamil 8 bulan dan akan segera melahirkan.
Pemberian layanan dan pengawasan terhadap korban harus dilakukan secara berkala dengan tujuan demi keselamatan anak terutama pada psikologis dan reproduksinya.
Kasus persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh anak kyai di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Plumpang menambah daftar panjang kekerasan seksual terhadap anak di Propinsi Jawa Timur. Pada tahun 2020, tercatat ada 162 kasus. Pada tahun 2021, jumlahnya meningkat dua kali lipat, yaitu 363 kasus. Sementara di paruh pertama tahun 2022, terdapat 126 kasus.
Dalam releasenya menjelaskan, bahwa hasil advokasi dan pendekatan dari KP.Ronggolawe yang dilakukan oleh Nunuk Fauziyah sebagai Direktur LBH KP.Ronggolawe dan Warti sebagai ketua pelaksana harian kepada keluarga korban, korban diketahui hamil 8 bulan per bulan Juli saat diantar periksa oleh Ibu kandung di puskesmas.
Ibu korban bercerita jika korban beberapa bulan yang lalu sering lemas dan mual, namun ketika diperiksakan hasilnya maag kambuh. Korban juga masih melakukan aktivitas sekolah seperti biasa, lari-lari, loncat dan naik turun ketika olahraga. Didukung dengan postur tubuh korban yang kecil dan tinggi, Ibu korban tidak curiga jika anaknya hamil.
Ibu korban juga menceritakan jika tidak melihat tanda-tanda kalau anaknya hamil. Sebab selama beberapa bulan lalu saat korban lemas dan mual dibawa ke puskesmas hasilnya selalu masuk angin dan maag. Disamping itu korban tidak pernah mengeluh tentang perutnya atau tidak bertingkah seperti perempuan hamil pada umumnya.
Selama ini ibu korban telah menjaga anaknya dengan baik dan sangat disiplin. Ia selalu diantar dan dijemput jika sekolah, tidak pernah keluar rumah jika tidak didampingi ibunya, selalu ijin jika keluar dengan teman, seperti fotocopy atau mengerjakan tugas sekolah saja diantar oleh ibunya.
Korban sangat berprestasi di sekolah, piala juara berjejer di almari rumahnya mulai dari juara matematika sampai bahasa inggris. Korban juga mengatakan mempunyai cita-cita ingin menjadi pramugari.
Pada saat pendekatan, respon pertama kali dari Ibu korban sangat tegang dan begitu nampak mengalami tekanan psikologis yang sangat berat atas kejadian yang dialami anaknya.
Ibu korban dengan terpatah-patah selalu mengatakan “sudah diselesaikan secara kekeluargaan, kami sudah diberikan uang sama keluarga Pondok pesantren. Tidak apa-apa mbak, bayi yang ada dalam kandungan anak saya keturuan dari Kiyai, setelah melahirkan anak saya akan di nikahi dan semua biaya akan ditanggung oleh pihak pelaku”.
Kami mencoba untuk mendorong Ibu kandunganya supaya kasus tersebut diselesaikan secara hukum. Pendampingan yang akan kami berikan berupa pendampingan hukum yang melibatkan pengacara beserta paralegal, konseling dan pendampingan berkelanjutan namun Ibu kandungnya menolak.
Menurut analisis temuan fakta dilapangan, kami sangat mengkhawatirkan jangan-jangan korbanya bukan hanya satu anak melainkan masih ada beberapa anak yang menjadi korban kebiadapan terduga pelaku.
Dalam situasi apapun menikahkan korban dengan terduga pelaku bukanlah solusi dan pilihan yang baik. Meskipun menurut keluarga korban agar permasalahan cepat selesai, menutup aib, dan pelaku bertanggungjawab. Orang dewasa seperti Ibu kandungnya tidak bisa melihat bagaimana kondisi psikis korban, apa yang dirasakan korban, apa yang dinginkan korban, dan apa yang dibutuhkan pada saat kasus kekerasan seksual dialami anak-anak.
Jika perspektif Ibu korban tidak segera diluruskan demi kepentingan terbaik untuk anak, maka korban menikah dengan seeorang pelaku. Dalam situasi seperti itu pastinya kita sudah bisa membayangkan hidup dalam satu rumah dengan terduga pelaku kekerasan seksual.
Pastinya korban mengalami tekanan psikologis yang sangat berat berada dalam relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku. Belum lagi jika pelaku dari kultur pesantren yang masih memegang kuat budaya patriarki, kontruksi pikiran pelaku menganggap bahwa perempuan konco wingking.
Nunuk menambahkan, Yang sangat membahayakan lagi adalah persepktif masyarakat secara umum, mengganggap bahwa kasus kekerasan seksual dan menghamili seorang anak tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat. Kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan pelaku terbebas dari jeratan hukum.
"Untuk itu, kami sangat memohon supaya Negara hadir dalam mengimplemtasikan mandat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan menggerakkan system koordinasi yang baik atas keberadaan lembaga Negara disetiap Kabupaten/Kota." Pungkasnya.
Editor : Prayudianto