Setelah itu semua berjalan sesuai rencana. Dua jam kemudian rombongan sampai di Rengasdengklok. Pemuda Soetjipto langsung mengembalikan mobil panser terbuka ke Jakarta sembari memberitahu jaringan Jakarta, bahwa rombongan sudah tiba di Rengasdengklok dengan selamat. Sementara, oleh para pemuda Bung Karno dan Bung Hatta ditempatkan di ruang tunggu.
Di ruang tunggu itu, pemuda Singgih bertanya kepada Bung Karno, apakah bersedia mengumumkan kemerdekaan tanpa melibatkan Jepang?. Saat bertanya, Singgih sengaja membarengi dengan meletakkan senapannya di atas meja.
Singgih merupakan putra Panji Singgih, teman Soekarno dalam pergerakan nasional. Sementara Sukarni berasal dari Blitar, orang tuanya dimungkinkan kenalan orang tua Soekarno.
Karenanya, saat rapat di kafe Hawaii di Cikini pada 15 Agustus 1945, sekolompok pemuda radikal pimpinan Chaerul Saleh, yakni Sukarni, Wikana, Adam Malik Joesoef Kunto, Singgih dan dr Moewardi, pemimpin Barisan Pelopor, menugaskan Sukarni sebagai pemimpin penculikan.
Bung Karno sebenarnya jengkel dengan sikap para pemuda, namun tidak diungkapkannya. Di kemudian hari, kepada Ktut Tantri, Bung Karno menceritakan kejengkelannya tersebut: Pemuda itu bisa saya tampar, kalau saya mau. Mereka itu anak-anak teman saya, dan saya sudah kenal mereka sejak kecil.
Saat Singgih dan Bung Karno sedang berunding, Guntur Soekarnoputra tiba-tiba menangis. Fatmawati ingin menyusui bayinya, namun botol susu tertinggal di mobil sedan saat pindah ke panser. Fatmawati meminta beberapa prajurit Peta untuk mencarikan botol susu.
Hatta yang tidak tahan mendengar tangisan bayi, lantas menggendong Guntur keluar dan memangkunya. Saat itu Guntur mengompoli Bung Hatta. Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra kemudian ditempatkan di sebuah rumah milik orang Tionghoa. Oleh para pemuda, rumah tersebut telah dikosongkan.
Editor : Prayudianto
Artikel Terkait