Bojonegoro.iNews.id - Di Desa Jelu, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, pendidikan tak hanya hidup di ruang kelas formal, la tumbuh dari surau-surau kecil, dari suara anak-anak yang melantunkan ayat suci di sore hari, dari semangat para guru yang tanpa pamrih, dan dari harapan orang tua yang menggantungkan masa depan anak mereka pada lembaga pendidikan non-formal.
Muhammad Maskun, 49 tahun, adalah salah satu penjaga cahaya itu. Sejak seperempat abad falu, ia mendirikan Madrasah Diniyah Taklimiyah Ula Al Faqih. Lembaga ini menjadi rumah kedua bagi ratusan generasi dari Desa Jelu dan sekitarnya. Setiap tahun, Maskun dan para pengajar di sana nyaris kewalahan menerima murid baru.
"Antusiasme warga sangat tinggi. Mereka percaya pendidikan non-formal ini adalah fondasi awal untuk jenjang selanjutnya," ujarnya.
Al Faqih bukan satu-satunya. Di desa ini berdin sembilan sekolah nonformal dari usia dini hingga pendidikan dasar. Masing-masing menjadi benteng moral dan spiritual bagi ratusan anak Mereka belajar membaca, memahami akhlak, dan mengenal nilai-nilai kehidupan yang tak selalu diajarkan di sekolah formal.
Muhammad Maskun bersama para muridnya di Madrasah Diniyah Al Faqih, Desa Jelu, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Sekolah nonformal yang dikelolanya ini telah berjalan selama 25 tahun.
Namun, di balik semangat itu, ada kenyataan yang tak bisa diabaikan: keterbatasan sarana. Banyak lembaga masih menggunakan meja reyot, papan tulis buram, dan kipas angin yang tak lagi berputar. "Keberadaan mereka masih butuh perhatian lebih," kata Iwan Sopian, Camat Ngasem, dalam pertemuan dengan puluhan pengurus TPQ dan madrasah diniyah, pada akhir Maret 2025 lalu.
"Padahal jika dibangun, mereka bisa membantu mewujudkan generasi bangsa yang lebih baik." Tambahnya.
Harapan itu sedikit menyala ketika ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) menggulirkan program bantuan untuk sekolah non formal. Sebagai operator Lapangan Minyak Banyu Urip, EMCL menyerahkan peralatan pendidikan kepada 11 lembaga non-formal di Bojonegoro dan Tuban. Bantuan itu berupa 220 meja mengaji, 11 papan tulis, 11 lemari buku, 11 pengeras suara, dan 22 kipas angin.
"Pendidikan dalam segala bentuknya adalah fondasi peradaban. Dengan peran besar dari orang tua, masyarakat dan Pemerintah, kami berharap dapat berkontribusi sedikit untuk fondasi tersebut," ujar Tezhart Elvandiar, External Engagement & Socioeconomic Manager, EMCL.
Maskun menyambut bantuan itu dengan syukur. "Peralatan ini akan sangat membantu kami dalam proses belajar mengajar," katanya. Haris, Kepala Madrasah Diniyah AlMashuriyah di Desa Ngasem, juga merasakan hal serupa. "Dengan peralatan yang lebih memadai, kami yakin kualitas pendidikan di madrasah kami akan semakin meningkat."
Ahmad Nur Rochim, Kepala Seksi Pendidikan Islam Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro, menilai langkah ini sebagai bentuk sinergi yang patut dicontoh. "Pendidikan non-formal adalah ujung tombak di banyak desa. Mereka menjangkau anak-anak yang mungkin tak tersentuh oleh sistem pendidikan formal. Dukungan seperti ini sangat berarti," ujarnya.
Dukungan EMCL terhadap pendidikan nonformal di Bojonegoro dan Tuban telah membantu proses belajar siswa sekaligus memudahkan metode mengajar para guru.
Di tengah geliat pembangunan dan modernisası, pendidikan non-formal tetap menjadi jangkar yang menahan nilai-nilai lokal agar tak hanyut. la tumbuh dari semangat gotong royong, dari dedikasi para guru yang tak kenal lelah, dan dari keyakinan bahwa ilmu bukan hanya soal ijazah, tapi juga tentang akhlak dan karakter.
Di Desa Jelu, cahaya itu masih menyala. Dan selama ada orang-orang seperti Maskun, Haris, dan ribuan guru lainnya, cahaya itu terus menyala.
Editor : Dedi Mahdi
Artikel Terkait