“Sebaliknya, pasukan Cakrabirawa sebagai pengawal Presiden/Panglima Tertinggi, selalu merasa paling berjasa dalam mengamankan jalannya revolusi,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan.
Saat pecah insiden RPKAD dan Cakrabirawa pada pertengahan 1964, Benny Moerdani baru saja bermain tenis di lapangan Senayan. Benny Moerdani berpangkat Mayor Infanteri dengan jabatan sebagai Komandan Batalyon I RPKAD. Ia belum lama mendapat anugerah Bintang Sakti yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.
Penghargaan Bintang Sakti diberikan kepada tentara yang telah berjasa dalam operasi pembebasan Irian Barat (sekarang Papua). Benny yang usai main tenis melihat di jalan masuk menuju asrama Cijantung penuh iring-iringan truk operasional RPKAD yang sarat penumpang. Semuanya anggota RPKAD berpakaian sipil.
Masih mengenakan baju olah raga, Benny diam-diam mencari tahu apa yang sedang terjadi. Iring-iringan truk RPKAD yang ia ikuti berhenti di jalan raya Kramat Raya. Para anggota yang berpakaian sipil itu berloncatan turun dari atas truk dan langsung berlari menuju arah simpang lima Senen. Mereka yakni anggota RPKAD yang dikontak rekan mereka yang berkelahi dengan Cakrabirawa di lapangan Banteng.
Situasi di sepanjang jalan sontak gaduh. Dengan berjalan kaki Benny menembus keramaian lalu lalang orang yang tengah berlarian. Ketika melihat seseorang tengah digotong masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), ia langsung menuju ke sana.
Di rumah sakit, Benny mendapat keterangan apa yang terjadi dari seorang dokter yang juga bekas anak buahnya di Pasukan Naga. Diceritakan bahwa konflik diawali aksi saling ejek saat anggota KKO latihan baris berbaris dan pasukan RPKAD belajar mengemudikan mobil.
“Saya tengok ke dalam ruang perawatan. Kira-kira ada tiga anggota RPKAD dan sepuluh KKO ngglethak, terbaring berlumuran darah,” kata Benny Moerdani.
Editor : Prayudianto