Lebih lanjut, Ellen Pence, dari Domestic Abuse Intervention Project (DAIP), sebuah program untuk mengurangi KDRT, mengungkapkan bahwa kekerasan yang didominasi pria muncul karena praktik menahun budaya patriarki. Hal ini mengacu pada sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan pemimpin utama dalam banyak hal. Sistem yang melanggengkan dominasi laki-laki tersebut melahirkan banyak bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pria.
Lantas, bisakah pelaku KDRT sembuh?
Menurut Ellen Pence, konstruksi sosial dan politik dari sistem patriarki yang mendarah daging selama ribuan tahun, membuat pria pelaku KDRT sulit menyembuhkan kebiasaan buruk mereka. Bahkan, Pence menyebut, perilaku kekerasaan tersebut tidak dapat dihilangkan dengan metode psikoterapi maupun konseling.
“Sesi terapi dengan profesional rentan membuat pria pelaku KDRT melihat tindakan mereka hanya sebagai produk dari trauma masa lalu maupun masalah lain yang mereka alami,” katanya.
Ellen Pence juga mengatakan banyak pria pelaku KDRT melakukan kekerasan secara sadar. Mereka didorong pemahaman terkait haknya sebagai laki-laki yang selama ini diuntungkan oleh sistem patriarki. Hal ini terlepas dari latar belakang setiap pria.
Sementara itu, Psikolog Ikhsan Bella Persada M.Psi., juga mengamini bahwa pelaku kekerasan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin menghilangkan kebiasaan KDRT yang mereka lakukan. Pasalnya, tindak kekerasan, menurut Ikhsan, sudah bertransformasi menjadi perilaku dari kepribadian pelaku.
“Mereka punya agresivitas yang cukup kuat, sehingga ketika stres atau ada sesuatu yang tidak sesuai, maka agresivitasnya akan muncul dalam bentuk KDRT,” katanya.
Ikhsan menambahkan, kesulitan pelaku dalam mengontrol emosi juga bisa mendorong impulsivitas untuk melakukan KDRT terhadap pasangan. Terlebih, mereka yang melakukan KDRT mudah terbawa emosi, sehingga perilaku kekerasan yang muncul memang karena dorongan dari dalam dirinya.
Editor : Prayudianto