KASIMAN, iNewsBojonegoro.id – Di sebuah rumah sederhana di sudut Kecamatan Kasiman, suara gergaji kayu dan ketukan pelan pahat tak pernah benar-benar berhenti. Bukan sekadar bunyi rutinitas, melainkan irama yang menandai keberlangsungan sebuah warisan: kerajinan kayu jati yang tumbuh dari cinta, kenangan, dan ketekunan.
Adalah Haniatul Musfiroh, perempuan Bojonegoro yang akrab disapa Hani, sosok di balik usaha rumahan bernama “Pengrajin Sejati.” Usaha ini ia rintis bersama sang suami sejak 2012, meneruskan jejak ibundanya yang lebih dulu memulai perjalanan sebagai perajin sejak tahun 2000.
Di rumah yang penuh serpihan jati itu, Hani tak sekadar memproduksi perabot rumah tangga, tetapi juga menjaga identitas dan amanah keluarga.
Kayu yang digunakan pun bukan sembarangan. Hani memilih “jati gembol”, bagian tunggak pohon jati yang memiliki serat unik dan artistik.
Bahan ini kemudian diolah dengan tangan—tanpa mesin besar, tanpa proses pabrikan. Meja, kursi, almari, hingga tempat tisu dan miniatur kayu tercipta dari proses panjang: dipotong, diukir, diamplas, lalu dipoles hingga mengilap. Semuanya dilakukan dengan penuh kesabaran dan rasa.
“Dari kecil saya suka ikut ibu, lihat cara beliau mengukir kayu. Awalnya cuma bantu-bantu, sampai akhirnya bisa beli HP sendiri dari hasil kerja,” kenang Hani sambil tersenyum, dikutip dari situs resmi Pemkab Bojonegoro.
Namun senyuman itu menyimpan perjuangan panjang, terutama saat sang ibu berpulang dan tanggung jawab usaha jatuh sepenuhnya ke pundaknya.
Kini, “Pengrajin Sejati” tak hanya memproduksi furnitur besar, tapi juga kerajinan kecil yang terjangkau, dengan harga mulai dari Rp15 ribu.
Tak hanya menjual, Hani juga memilih menggunakan jasa ekspedisi lokal untuk pengiriman ke berbagai daerah, dari Sumatera hingga Papua.
Keputusan ini diambil agar roda ekonomi lokal ikut bergerak.
Lebih dari itu, usaha ini membuka lapangan kerja bagi warga sekitar.
Sejumlah tetangga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan kini ikut terlibat dalam proses produksi.
“Saya ingin usaha ini bisa bermanfaat, bukan hanya untuk keluarga saya. Ini juga cara kami membalas kebaikan lingkungan,” ujar Hani.
Meski sempat mencapai omzet Rp30 juta per bulan, kondisi saat ini membuat pendapatan menurun menjadi sekitar Rp15–20 juta. Namun, Hani tak menyerah.
“Pasar memang fluktuatif. Tapi bagi saya, ini bukan soal angka saja. Ini soal menjaga warisan dan jati diri,” tegasnya.
Di setiap karya kayu yang dihasilkan, tersimpan nilai yang tak bisa diukur dengan rupiah: cinta seorang anak kepada ibunya, semangat memberdayakan masyarakat, dan keberanian menjaga warisan di tengah gempuran produk instan.
Dari tangan Hani, Kasiman tak hanya dikenal sebagai daerah pertanian, tetapi juga sebagai tempat lahirnya kerajinan dengan jiwa.
“Saya ingin produk kami bisa dibanggakan masyarakat, bukan hanya karena bentuknya, tapi karena ceritanya. Produk lokal itu punya nyawa, dan kami ingin terus menghidupkannya,” pungkas Hani, penuh harap.
Editor : Dedi Mahdi
Artikel Terkait