JAKARTA, iNewsBojonegoro.id – Kenaikan dana reses anggota DPR RI menjadi Rp702 juta per orang memicu sorotan tajam publik. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari sebelumnya, yang berkisar di angka Rp400 juta per anggota. Di tengah tuntutan transparansi penggunaan anggaran negara, pimpinan DPR menyebut penambahan ini bukanlah bentuk tunjangan tambahan, melainkan penyesuaian terhadap kebutuhan di lapangan.
Reses merupakan masa di luar sidang di mana anggota dewan berkewajiban turun ke daerah pemilihan (dapil) untuk menyerap aspirasi masyarakat. Namun, publik dan sejumlah pengamat mempertanyakan efektivitas serta keterbukaan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa kenaikan dana reses untuk periode 2024–2029 disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah titik kunjungan serta indeks kegiatan.
“(Uang reses naik) karena ada penambahan indeks dan jumlah titik. Sudah diusulkan sejak Januari 2025, dan disetujui Kementerian Keuangan pada Mei 2025,” ujar Dasco kepada awak media di Jakarta, Minggu (12/10).
Dasco juga menekankan bahwa dana ini tidak diterima secara bulanan karena kegiatan reses hanya dilakukan empat hingga lima kali setahun. Ia mengklaim, DPR tengah mengembangkan aplikasi pelaporan daring agar masyarakat dapat memantau titik reses, identitas anggota DPR, hingga laporan kegiatan mereka.
“Semua wajib unggah laporan kegiatan. Ini upaya agar masyarakat bisa tahu dan mengawasi,” imbuhnya.
Pengamat Nilai Transparansi Masih Lemah
Meski begitu, penjelasan pimpinan DPR belum cukup menenangkan kekhawatiran publik. Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebut kenaikan tersebut sebagai bentuk kebijakan tanpa pengawasan yang kuat.
“Informasi soal reses itu seperti hantu di DPR. Agendanya ada, tapi hasilnya tidak pernah dipublikasikan,” kata Lucius dalam keterangan tertulis, Senin (13/10).
Ia menyoroti lemahnya mekanisme evaluasi, sehingga dana reses rawan disalahgunakan untuk aktivitas yang tidak sesuai tujuan.
“Ada kemungkinan anggota DPR justru tidak kembali ke dapil saat reses, melainkan pelesiran. Ini seperti bonus tanpa kinerja yang layak diapresiasi,” tambahnya.
Perlu Komitmen Keterbukaan
Secara regulasi, pelaksanaan reses diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), serta Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dalam aturan itu, anggota dewan memang berhak atas dukungan keuangan untuk menjalankan fungsi representatifnya di dapil.
Namun, tanpa transparansi dalam pelaporan dan pengawasan, publik berpotensi memandang dana reses sebagai bentuk "privilege" yang tak sebanding dengan hasil kerja. Usulan pengembangan aplikasi pelaporan DPR kini menjadi ujian nyata bagi komitmen lembaga legislatif terhadap prinsip akuntabilitas.
Editor : Dedi Mahdi
Artikel Terkait