get app
inews
Aa Text
Read Next : Kapan Penetapan Pemenang Pilkada dan Pelantikan Bupati Bojonegoro Baru? Ini Kata KPU

LBH KP.Ronggolawe Desak Polisi Segera Tangkap Pelaku Persetubuhan di Plumpang

Senin, 25 Juli 2022 | 10:28 WIB
header img
mandate UU nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlidungan Anak dan UU Nomor 22 tahun 2022 tentang tindak Pidana Kekerasan Seksual. Foto : Ilustrasi. Istimewa.

Pada saat pendekatan, respon pertama kali dari Ibu korban sangat tegang dan begitu nampak mengalami tekanan psikologis yang sangat berat atas kejadian yang dialami anaknya.

Ibu korban dengan terpatah-patah selalu mengatakan “sudah diselesaikan secara kekeluargaan, kami sudah diberikan uang sama keluarga Pondok pesantren. Tidak apa-apa mbak, bayi yang ada dalam kandungan anak saya keturuan dari Kiyai, setelah melahirkan anak saya akan di nikahi dan semua biaya akan ditanggung oleh pihak pelaku”.

Kami mencoba untuk mendorong Ibu kandunganya supaya kasus tersebut diselesaikan secara hukum. Pendampingan yang akan kami berikan berupa pendampingan hukum yang melibatkan pengacara beserta paralegal, konseling dan pendampingan berkelanjutan namun Ibu kandungnya menolak.

Menurut analisis temuan fakta dilapangan, kami sangat mengkhawatirkan jangan-jangan korbanya bukan hanya satu anak melainkan masih ada beberapa anak yang menjadi korban kebiadapan terduga pelaku.

Dalam situasi apapun menikahkan korban dengan terduga pelaku bukanlah solusi dan pilihan yang baik. Meskipun menurut keluarga korban agar permasalahan cepat selesai, menutup aib, dan pelaku bertanggungjawab. Orang dewasa seperti Ibu kandungnya tidak bisa melihat bagaimana kondisi psikis korban, apa yang dirasakan korban, apa yang dinginkan korban, dan apa yang dibutuhkan pada saat kasus kekerasan seksual dialami anak-anak.

Jika perspektif Ibu korban tidak segera diluruskan demi kepentingan terbaik untuk anak, maka korban menikah dengan seeorang pelaku. Dalam situasi seperti itu pastinya kita sudah bisa membayangkan hidup dalam satu rumah dengan terduga pelaku kekerasan seksual.

Pastinya korban mengalami tekanan psikologis yang sangat berat berada dalam relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku. Belum lagi jika pelaku dari kultur pesantren yang masih memegang kuat budaya patriarki, kontruksi pikiran pelaku menganggap bahwa perempuan konco wingking.

Nunuk menambahkan, Yang sangat membahayakan lagi adalah persepktif masyarakat secara umum, mengganggap bahwa kasus kekerasan seksual dan menghamili seorang anak tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat. Kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan pelaku terbebas dari jeratan hukum.

"Untuk itu, kami sangat memohon supaya Negara hadir dalam mengimplemtasikan mandat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan menggerakkan system koordinasi yang baik atas keberadaan lembaga Negara disetiap Kabupaten/Kota." Pungkasnya.

Editor : Prayudianto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut