Trauma dan rasa malu yang dialami penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual seringkali diabaikan. Pada akhirnya, korban dan keluarga merasa pesimistis kasus tersebut bisa diselesaikan.
Sri Wiyanti Eddyono dari UGM bicara mengenai distorsi termal keadilan restoratif. Penyelesaian konflik hukum, terutama kekerasan seksual harus dilakukan dengan menggelar mediasi antara korban dan terdakwa. Menurutnya, tujuan keadilan restoratif dalam UU TPKS dan Permendikbud memiliki prinsip melindungi dan memulihkan korban.
Forum GSF membahas berbagai isu krusial terkait kekerasan seksual, seperti komitmen negara dalam implementasi regulasi kekerasan seksual, peluang satuan tugas dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, menyoal kembali perlindungan terhadap kelompok disabilitas dan kelompok marjinal lain serta akar-akar kekerasan dalam dimensi sosiokultural.
Kegiatan ini diikuti oleh tidak kurang dari 200 peserta baik offline maupun online untuk berbagi pengalaman. Narasumber dihadirkan mulai dari Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi dari 58 kampus di Indonesia.
Gender Studies Forum dibuka oleh Chatarina Muliana Girsang, Inspektur Jenderal Kemdikbud. Dalam sambutannya, Chatarina menyambut baik kolaborasi ini. Sebab pihak kementerian yang bertanggung jawab atas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, kerja-kerja kolaboratif mutlak harus dilakukan.
“Kerja kolaboratif ini harus melibatkan berbagai elemen, mulai dari perguruan tinggi, organisasi masyarakat, hingga komunitas. Kementerian menyambut baik GSF sebagai bagian dari upaya duduk bersama untuk mencari jalan terbaik menyelesaikan persoalan kekerasan seksual,” tuturnya.
Editor : Prayudianto