JAKARTA, iNewsBojonegoro.id -Isu Kriminalisasi di KUHP Baru Menguat, Wamenkum Tekankan Anotasi sebagai Penuntun Aparat
Menjelang pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada awal 2026.
Kekhawatiran sebagian publik terkait potensi kriminalisasi dan penyalahgunaan kewenangan kembali mencuat.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil menilai masih ada ruang gelap dalam mekanisme pengawasan aparat serta konsistensi penerapan hukum di lapangan.
Di tengah polemik tersebut, pemerintah berupaya meredam kecemasan dengan menegaskan bahwa KUHP baru telah dirancang untuk meminimalisasi tindakan sewenang-wenang.
Wakil Menteri Hukum, Eddy OS Hiariej, menyampaikan bahwa kerangka hukum baru dibekali penjelasan dan anotasi yang menjadi panduan jelas bagi aparat penegak hukum.
“Kalau kita lihat di dalam KUHP itu, hukum materiil disertai dengan penjelasan,” ujar Eddy kepada media di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 24 November 2025.
Anotasi Jadi Penuntun Tafsir Aparat
Eddy menekankan bahwa penyusun KUHP sengaja mencantumkan anotasi atau catatan penjelas pada sejumlah pasal penting. Tujuannya, agar aparat memahami maksud pembentuk Undang-Undang serta tidak menerapkan aturan berdasarkan tafsir yang keliru.
“Ini untuk mencegah jangan sampai terjadi kriminalisasi dan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa struktur penjelasan dan anotasi tersebut berfungsi sebagai rambu-rambu agar aparat tidak melampaui koridor hukum yang telah ditetapkan.
Menjawab Protes Masyarakat Sipil
Menanggapi kritik masyarakat sipil yang menyebut aturan turunan KUHP masih tidak jelas, Eddy memastikan seluruh perangkat regulasi telah rampung. Tiga Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi fondasi teknis KUHP disebut telah selesai disusun.
“Yang ketiga adalah PP tentang komutasi pidana. Itu semua sudah selesai dilakukan,” kata Eddy.
Dua PP lainnya mencakup pedoman keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) serta pedoman pemidanaan dan tindakan.
Meski demikian, kritik dari berbagai kelompok advokasi masih menguat. Komnas Perempuan, misalnya, menilai sejumlah peraturan daerah (perda) masih berpotensi melanggengkan kriminalisasi, bertentangan dengan semangat KUHP baru yang menonjolkan keadilan restoratif.
Komnas Perempuan Soroti 103 Perda Bermasalah
Dalam pertemuan dengan Ditjen Peraturan Perundang-undangan pada Juli 2025, Komnas Perempuan menyoroti sedikitnya 103 perda yang mengandung potensi kriminalisasi dengan ancaman kurungan.
Perda-perda tersebut dinilai tumpang tindih, multitafsir, dan tidak selaras dengan arah pembaruan hukum.
Komnas Perempuan juga memperingatkan risiko kerentanan korban KDRT dan kekerasan seksual apabila konsep living law diterapkan tanpa batasan dan parameter yang jelas.
Kekhawatiran publik pun kian besar karena masih adanya perda mengenai isu kohabitasi yang bukan delik aduan, sehingga dianggap rawan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hingga kini, perdebatan mengenai potensi kriminalisasi dalam KUHP baru terus bergulir, terutama terkait ruang tafsir living law serta batas kewenangan daerah dalam menetapkan norma hukum.
Editor : Arika Hutama
Artikel Terkait
